Tahun 1990an
Tap.. tap.. tap..
Terdengar suara langkah kaki seorang wanita bernama Ghisella Ananda, yang sedang berjalan di taman sekolah.
“Satu, Dua, Tiga” ucap Wira Aditya di dalam hati.  Wira Aditya menatap gadis yang melewatinya dengan tatapan terpesona. “Hanya dalam waktu tiga detik, aku jatuh cinta.”


Di sebuah kantin sekolah, Akbar sedang bermain gitar sambil menyanyi untuk menghibur teman-temannya setelah ujian. Di belakang Akbar, Aris tiba-tiba datang dan mengatakan
“Dia baru saja memainkan Soundtrack Love Story dalam versi gitar akustik. Tapi permainannya tidak sebaik aku,” goda sahabatnya yang tampan itu. Para wanita di kantin itupun meminta Aris menyanyikan lagu itu tapi Aris tidak mau. Akbar berpura-pura seakan-akan akan memukul sahabatnya itu.
Kejadian itu membuat Akbar kesal. “Aku tidak mendapatkan perhatian sebesar itu meskipun aku menyanyi sampai suaraku serak. Sedangkan dia hanya perlu menunjukkan wajahnya. Aku benci dia,” kata Akbar pada Tasya yang duduk di sebelahnya. Akbar akan mengambil gelas minuman namun tangannya dipukul oleh Tasya karena itu miliknya.


Wira sedang melukis di atas Kanvas disebelah jendela kelasnya. Dia berdiri untuk membuka kaca jendela. Dia akan membalikkan badan, namun menoleh lagi karena dia melihat gadis pujaannya sedang duduk di taman sambil membaca buku. “Cinta pada pandangan pertama...” katanya dalam hati sambil terus memandangi gadis itu.
Wira langsung mengambil buku lukis dan mulai menggambar Ghisel di bukunya sambil bersandar di dinding.

Aris mencari Wira dan dijawab oleh Tasya bahwa Wira masih di studio.
Akbar bermaksud mengambil minuman Tasya tapi lagi lagi tangannya dipukul. “Itu punyamu juga?” tanya Akbar menutupi perbuatannya.
Aris hanya tertawa melihat kelakuan Akbar dan Tasya.
“Wira tadi cerita kepadaku bahwa dia telah jatuh cinta pada seorang wanita” ucap Aris
“Wira?” tanya Akbar tidak percaya.
Akbar dan Tasya berpandangan. “Tidak mungkin!” kata mereka bersamaan.
“Wira tidak mungkin jatuh cinta,” kata Tasya.
“Kitaa sudah 3 tahun bersamanya. Dan Aku teman sekamarnya tidak pernah melihatnya bersama dengan wanita.” sambung Akbar.
“Coba saja letakkan Wira dengan seorang wanita di pulau terpencil. Aku bertaruh dia tidak akan mengajak bicara wanita itu,” kata Akbar lagi.
“Aku serius! Wira benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama dan katanya dalam 3 detik,” kata Aris.
“Benarkah?” Tasya terlihat cemburu.
Wira masih menggambar Ghisel yang sedang duduk di taman dengan bukunya. Wira tersenyum geli saat melihat gadis itu menggaruk kakinya yang gatal. Dia melanjutkan menggambar, namun saat dia akan melihat Ghisel lagi, ternyata Ghisel sudah pergi.
Wira yang kaget langsung berlari keluar menuju taman. Dia menoleh ke sana-kemari mencari sosok Ghisel, namun Wira tidak menemukannya. Wira berlari lagi mencari ke tempat lain. Karena tidak memperhatikan depannya, Wira menabrak Ghisel hingga barang-barangnya jatuh.
Wira langsung meminta maaf dan berjongkok mengambil barang-barang Ghisel.
Saat akan memberikan ke Ghisel, Wira baru sadar bahwa yang ditabraknya adalah gadis yang disukainya. “Tiba-tiba-jantungku berdetak seperti mulai gila,” kata Wira dalam hati sambil terpesona. Ghisel merasa diperhatikan Wira lalu menoleh. Namun Wira langsung melanjutkan memunguti barang-barang Ghisel. Saat akan berdiri, kepala mereka terantuk.
“Maaf,” kata Wira sekali lagi sambil menyerahkan buku ke Ghisel.
“Terima kasih,” kata Ghisel lalu dia berjalan pergi, namun tangannya ditahan oleh Wira. “Emm.” kata Wira, bingung akan berkata bagaimana.
“Ya?” tanya Ghisel.
Wira bingung akan mengatakan apa. Dia melepaskan tangannya dari Ghisel.
“Tidak apa-apa,” kata Wira sambil menganggukkan kepala dan berjalan pergi.
Ghisel merasa aneh, namun dia tidak mengatakan apa-apa dan berjalan pergi juga.
Wira  berhenti berjalan dan menoleh memandang Ghisel. “Hal lucu yang aku pikirkan, adalah bahwa aku dilahirkan di dunia untuk mencintainya,” kata Wira dalam hati sambil terus memandang Ghisel
Ghisel yang merasa diperhatikan menoleh, tapi Wira langsung membuang muka.
Wira memandangi Ghisel yang berjalan pergi lalu menghela nafas kesal karena dia tidak bisa berkata apa-apa di depan Ghisel.
Wira akan berjalan pergi, tapi dia baru ingat bahwa pensilnya terjatuh saat bertabrakan dengan Ghisel. Dia mencari pensilnya dan memungutnya. Tiba-tiba dia melihat bahwa buku Ghisel ada yang terjatuh di rerumputan dan tertinggal.
Dia membuka buku Ghisel dan membaca nama Ghisella di buku itu. Wira melanjutkan membuka buku itu yang ternyata adalah buku harian Ghisel.
Wira akan menyusul Ghisel dan mengembalikannya namun dia dipanggil oleh teman-temannya. Wira langsung menyembunyikan diari Ghisel di belakang punggungnya. Akbar mengeluarkan gitar yang dibawanya. Wira langsung semangat.
Ghisel menyadari bahwa diarinya tidak ada di tas dan langsung berlari mencari diarinya namun tidak menemukannya.
Sesampainya di rumah, Wira membuka-buka diari Ghisel dan membaca tulisan Ghisel :
‘Cinta tidak pernah mengatakan maaf’ Itulah kalimat dari film Love Story yang orang tuaku suka tonton sebelum mereka meninggal. Aku masih belum mengerti arti kalimat ini.
“Orang tuanya sudah meninggal ternyata,” kata Wira berbicara sendiri. Lalu dia memasukkan diari itu ke tasnya lagi.
Wira menunggu Ghisel di taman untuk mengembalikan diarinya. Dia sudah lama menunggu tapi tidak bertemu dengan Ghisel. Wira memutuskan pergi.
“Emm, permisi,” terdengar suara wanita memanggil Wira.
Ternyata yang memanggilnya adalah Ghisel.
“Emm.. Apakah kau menemukan diariku..., maksudku buku kuning kemarin?”
Wira akan mengambil buku itu di tasnya saat dia mendengar Ghisel berkata pelan, “Aku harap tidak ada yang membacanya.”
Di saat bersamaan, seorang dosen memanggil Ghisel dengan suara keras. Ghisel mengira Wira tidak menemukan diarinya, lalu dia berpamitan.
Kelihatannya Wira merasa bersalah karena telah membaca diari Ghisel sehingga dia takut akan mengembalikannya. Tiba-tiba teman-teman Wira datang.
“Wah, dia cantik,” kata Akbar
“Dia teman sekelasmu?” tanya Aris kepada Tasya.
“Ya. Tapi aku tidak kenal dia. Karena dia sangat pemalu.” Jawab Tasya
“Dia Madonna kelasmu kan ?!” kata Akbar bersemangat.
“Madonna?” kata Wira dan Aris bersamaan.
“Iya karena dia Mahasiswa yang cerdas di kelas” kata Tasya lagi dengan sinis..
Aris memandang Ghisel dengan terpesona. “Tiga detik?”
Wira menoleh ke arah Aris. “Tidak ada apa-apa,” kata Aris sambil tersenyum lalu berpamitan masuk ke kelas.
Saat di kelas, Wira membaca-baca diari Ghisel. Dia membaca bahwa tempat duduk di taman adalah favorit Ghisel.
Wira melihat keluar jendela dan berharap dia melihat Ghisel, namun Ghisel tidak ada di taman.
Dia mengingat-ingat tulisan di diari Ghisel yang mengatakan ingin menonton film Love Story yang diputar ulang.
Sambil duduk di taman asrama, Wira membaca diari Ghisel. “Tiap malam, aku membaca diarinya. Aku ingin mengenal dia lebih dalam,” kata Wira dalam hati sambil memandang langit malam.
Keesokan harinya, Wira membeli tiket film Love Story yang ingin Ghisel tonton.
Wira pergi ke perpustakaan dan mencari buku The Prince yang disukai oleh Ghisel menurut diari Ghisel. Di saat bersamaan, Ghisel juga mencari buku di balik rak. Pandangan Ghisel dan Wira bertemu.
Wira merasa malu lalu buru-buru pergi membawa buku itu. Namun Wira menabrak Mahasiswa yang membawa buku perpustakaan hingga buku-buku berserakan. Orang-orang memperhatikan Wira. Ghisel mendatangi Wira dan membantunya memunguti buku-buku.
Mahasiswa itu mengangkat buku The Prince dan bertanya pada Wira “apa ini bukumu?” . Ghisel memandangi buku itu lalu menoleh ke Wira . Namun Wira tidak mengaku dan langsung pamit pergi.
Felis mendatangi Ghisel dan bertanya apa dia mengenal Wira.
“Tidak, tidak terlalu. Kenapa?” tanya Ghisel balik.
Felis merasa heran karena Ghisel tidak dengar tentang trio C’est La Vie. Akhirnya Felis menerangkan ke Ghisel.
“Yang pertama Dj Aris Febrian. Nama panggilannya Cassanova. Dia mahasiswa kedokteran. Dia tampan. Dia pintar. Bahkan dia baik hati. Para wanita tidak pernah meninggalkannya sendirian. Yang kedua adalah Fauzayn Akbar. Dia selalu mencari makanan di manapun. Tapi ketika dia menyanyi, dia sangat mempesona. Orang-orang memaafkannya karena suaranya. Dan orang yang terakhir, Wira Aditya. Dia misterius. Dia mahasiswa kesenian dengan karisma lembut. Dialah yang mengarang lagu untuk mereka. Dia memiliki jiwa artistic sehingga bisa memenangkan beberapa kontes lukis. Aku dengar dia sudah punya tunangan.”
Ghisel kaget. “Dia benar-benar punya tunangan?”
Felis mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku tidak punya,” kata Wira. Ghisel dan Felis kaget karena Wira mendengar mereka membicarakannya.
“Aku tidak punya tunangan” lanjut Wira sambil menatap Ghisel.
Wira lalu membuang sampah dan pergi.
Felis merasa malu karena Wira dengar pembicaraan mereka. Ghisel tidak menjawab karena dia juga merasa malu.
Wira dan Ghisel sedang menunggu hujan reda dan tidak sengaja berdiri berdekatan.
Mereka saling menyapa dengan menganggukkan kepala namun tidak mengatakan apa-apa karena sama-sama malu.
“Permisi. Tolong tunggu di sini sebentar,” kata Wira ke Ghisel. Wira lalu langsung berlari ke dalam dan menuju perpustakaan untuk mencari pinjaman payung. Ada seorang wanita yang memiliki payung namun Wira malu meminjam.
Ghisel sedang menunggu Wira dan melihat ke dalam.
Wira mencari-cari payung di gudang perpustakaan dan menemukan payung berwarna kuning di tumpukan buku. Dia langsung berlari keluar.

Ghisel merasa senang melihat usaha Wira mencari payung. Wira membuka payung itu dengan senang tapi... penyangganya rusak sehingga payung tidak mau membuka lebar.
Ghisel tersenyum kecil. Wira akhirnya menyangga payung dengan tangannya dan memayungi Ghisel.
“Umm.. Apakah kita pulang sekarang?” tanya Wira.
Ghisel tertawa senang melihat tingkah laku Wira. Mereka kemudian berjalan pulang bersama. Saat berjalan bersama, Wira mengungkit tentang kejadian dia dan Felis membicarakan soal Wira memiliki tunangan. Wira menegaskan lagi bahwa dia tidak memiliki tunangan. Ghisel memperhatikan baju Wira yang terkena air hujan karena posisi payung yang lebih condong ke Ghisel. Ghisel ingin menggeser payung, tapi dihalangi oleh Wira. “Aku baik-baik saja,” kata Wira.
“Aku juga baik-baik saja,” kata Ghisel lalu menggeser payung lagi. Namun oleh Wira payung digeser ke arah Ghisel lagi.
“Kalau begitu, lebih mendekatlah ke arahku,” kata Ghisel akhirnya.
Wira menuruti permintaan Ghisel dan dia mendekat ke Ghisel.
Tapi karena Wira merasa salah tingkah tiap bahunya bersinggungan dengan bahu Ghisel, payung digeser lagi dan dia menjauh. Pada akhirnya Wira basah kuyup. Ghisel melihat ke Wira dan bertanya “Apa kau menyukai hujan?”
“Ya. Aku menyukainya. Hujan membuatku merasa sedih atau bahagia,” jawab Wira.
“Aku juga merasakan hal yang sama,” kata Ghisel lalu tersenyum kecil.
Mereka berjalan dalam diam lagi.
“Buku itu...” kata Ghisel.
“The Little Prince?” sambung Wira
“Di salah satu puisi di buku itu, ada stanza.. ‘Cinta memiliki dua wajah, kebahagiaan dan kesedihan’. Aku rasa hujan sama seperti cinta,” kata Ghisel.
Di pinggir jalan ada genangan air dan saat ada mobil lewat, Wira langsung menghadang air yang menyembur ke arah Ghisel.
“Kau baik-baik saja?” tanya mereka berdua bersamaan.
Mereka salah tingkah. “Pegang ini,” kata Wira sambil menyodorkan gagang payung. “Aku lupa bahwa aku harus pergi ke suatu tempat.” Wira kemudian pamit dan berjalan pergi.
“Anu..” kata Ghisel. Wira menoleh.
“Kapan aku harus mengembalikan payung ini padamu?” tanya Ghisel.
“Oh, ini.” Wira kebingungan harus menjawab apa. “Apa yang kau lakukan Minggu ini?” tanya Wira tiba-tiba dengan mengumpulkan segala keberaniannya.
Ghisel merasa kaget bercampur heran.
“Anu.. Film,” kata Wira terbata-bata..
“Love Story..” kata Wira lagi.
“Love Story? Aku sangat ingin menonton film itu,” kata Ghisel bersemangat.
Wira tersenyum. “Kalau begitu, kau mau menontonnya bersamaku?”
Ghisel tersenyum malu tapi akhirnya menganggukkan kepala.
“Sudah diputuskan kalau begitu,” kata Wira dengan senang kemudian pamit dan berlari pergi. Tiba-tiba Wira berhenti. “Aku mengambil payung itu di perpustakaan. Jadi kau tidak perlu khawatir,” kata Wira sambil tersenyum. Dia akan berlari lagi, tapi tersandung. Dia menoleh ke arah Ghisel dengan malu dan berpamitan lagi sebelum pergi.
Ghisel sudah sampai di halte bis dan menutup payung dengan tersenyum.
Dia melihat poster film Love Story lalu dia membuka payungnya lagi dan mendekat ke poster. “Kau akan basah kuyup,” sapa Aris dari belakang. Ghisel memandang ke arah Aris.
“Kau mau bertukar payung denganku?” Aris menawarkan.
“Apa?” tanya Ghisel.
“Kau basah. Bahkan aku bisa melihat tetesan hujan. Ayo, bertukar payung.”
“Tidak, aku baik-baik saja.” Kata Ghisel
Aris lalu mengambil saputangan ke Ghisel dan menyuruhnya mengelap tetesan hujan di badannya. Ghisel menolak juga tawaran saputangan Aris.
Aris memasukkan saputangannya dan penasaran dengan keacuhan Ghisel. “Apakah kau tidak mengenaliku?” tanya Aris.
Ghisel memperhatikan Aris lalu berkata, “Tidak” jawab Ghisel
“Kita pernah bertemu sebelumnya. Apa kau tidak ingat?”
Ghisel tetap tidak ingat.
“Ah, kau melukai harga diriku. Kau mahasiswa kesehatan keluarga kan?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Temanku satu kelas denganmu. Aku melihatmu beberapa kali di kampus.”
Ghisel diam saja.
Aris lalu melanjutkan pembicaraan. Dia memperhatikan bahwa Ghisel malihat poster film Love Story dan mengajak Ghisel menonton bersama. Namun dari bahasa tubuh Ghisel, Aris tahu Ghisel menolaknya.
Akhirnya Aris berkata mereka akan menonton bersama bila mereka bertemu secara tidak sengaja sekali lagi.
Ghisel ingin menolak namun bisnya sudah datang. Aris menyuruhnya masuk. Ghisel pamit, kemudian masuk bis.
Aris merasa senang karena bisa mengajak bicara Ghisel.
Dalam keadaan basah kuyup, Wira melanjutkan lukisan bergambar Ghisel dengan semangat. (kelihatannya lukisan Ghisel alasan Wira cepat-cepat pergi)
Di restoran, Aris sedang menjadi Dj. “Lagu ini aku persembahkan untuk orang-orang yang jatuh cinta padaku di hari berhujan seperti aku,” katanya.
Akbar terkejut mendengar perkataan Aris. Namun, Tasya membantah dan mengatakan bahwa Aris selalu berkata seperti itu.
Saat Wira sedang mengarang lagu sambil memikirkan Ghisel di balkon, Aris datang. Aris memuji karangan Wira dan menyuruhnya menampilkan di restoran, tapi Wira tidak mau.
Aris tiba-tiba bertanya, “Tiga detik yang kau katakan padaku... Kau sudah menemukan gadis takdirmu kan? Itulah alasan kau mengarang lagu kan?”
Wira hanya tersenyum kecil. Aris merasa senang untuk Wira dan berkata bahwa mereka benar-benar teman karena Aris juga sudah menemukan gadis yang dia sukai.
Aris mengarang cerita flashback bahwa dia bertemu dengan Ghisel di halte bis. Ghisel memberitahu Aris bahwa tangan Aris berdarah dan menawarkan bantuan merawat lukanya.
“Dia orang yang merawat lukaku selain ibuku. Aku rasa dia seperti ibuku,” kata Aris.
Aris mengambil tiket film Love Story yang sedang dikeringkan Wira.
“Kau akan pergi dengan gadis yang kau sukai? Wah, aku iri. Aku baru saja ditolak. Tapi aku berjanji bahwa bila lain kali kami bertemu dengan tidak sengaja, kami akan menonton film itu bersama. Sepertinya aku harus mencari cara agar bertemu dengannya.”
Wira mendengarkan cerita Aris dengan seksama. “Aneh. Film yang sama?” katanya pada Aris.
“’Cinta tidak mengenal maaf’? aneh,kenapa para wanita sangat menyukai kalimat itu?” tanya Aris
Wira teringat bahwa Ghisel juga suka kalimat itu. “Aku tidak tahu. Mungkin karena cinta datang dari hatimu dan cinta itu tulus. Kau tahu isi hati satu sama lain meskipun aku tidak mengatakannya.”
“Ah, aku paham. Seandainya aku wanita, aku pasti menyukaimu,” kata Aris bercanda.
“Kalau aku seorang wanita, aku tidak akan pernah menyukaimu,” kata Wira menggoda Aris.

Wira datang ke perpustakaan dan mengingat isi diari Ghisel yang tentang hal-hal yang dia sukai, yaitu: pojokan puisi di lantai 4 perpustakaan, bunga Baby’s Breath, The Little Prince karangan Saint Exupetry, dan Franz Schubert.

CREATED BY  : M. Wira Aditya M.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Clock

Entri Populer

ARF's Blog. Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Ainur Ridho F's BLOG -Minimalist Blog- Powered by Blogger - Designed by Ainur Ridho F -