Wira diajak oleh Aris dan Akbar ikut kencan buta agar bisa mengikuti festival menari bersama dan mempunyai teman wanita. Aris berkata ini adalah salah satu cara agar dia bertemu dengan gadis yang disukainya lagi dan bisa mengajaknya nonton film.

Karena itulah dia meminta bantuan Akbar dan Wira. Akbar sangat penasaran dengan gadis yang membuat Aris berusaha sedemikian keras.
“Aku dengar dia satu kelas dengan Tasya,” kata Akbar.
Wira terkejut. “Kesehatan keluarga?” tanyanya.
“Ya. Aris memohon-mohon pada Tasya selama beberapa hari untuk membawanya kesini.”
Wira mulai merasa curiga. Saat Ghisel, Felis, dan Tasya datang kecurigaannya terbukti, bahwa gadis yang disukai Aris adalah Ghisel.
Wira hanya diam saja memandang Ghisel.
Aris berpura-pura seakan-akan kejadian pertemuan mereka tidak disengaja dan ini adalah takdir.
Saat Tasya menanyakan tentang film Love Story, Aris tidak memberi kesempatan Ghisel untuk menjawab dengan langsung mengatakan bahwa Ghisel berjanji akan menonton dengannya bila mereka tidak sengaja bertemu untuk kedua kalinya.
Setelah mereka duduk sambil makan bersama tiba-tiba Aris mengatakan sesuatu. Aris mengkopi kata-kata Wira bahwa cinta datang dari hati dan tulus, karena itu tidak perlu ada kata maaf. Ghisel tersentuh mendengar kata-kata Aris.
Para pria membuat permainan dengan meletakkan barang kepunyaan mereka secara rahasia dan meminta para gadis memilih. Felis memilih barang kepunyaan Akbar. Saat Ghisel dihadapkan pada pilihan pensil atau tensoplas, Ghisel memilih pensil.
Wira merasa senang dengan pilihan Ghisel, namun pahanya dipukul oleh Aris dan mengatakan bahwa pensil itu adalah miliknya dan bahwa dia dan Ghisel betul-betul berjodoh.
Wira dan Ghisel saling berpandangan namun tidak mengatakan apa-apa.
“Apa yang kukatakan  kepada Aris bahwa mungkin gadis yang disukainya menyukai bunga Baby’s breath ternyata benar. Dia gadis yang disukai temanku. Dulu aku merasa bahagia karenanya. Tapi sekarang aku juga merasa sedih karenanya,” kata Wira dalam hati sambil melihat Aris memberikan bunga Baby’s Breath kepada Ghisel.
Saat Ghisel melihat ke arah Wira, Wira tersenyum seakan-akan senang melihat Ghisel menerima karangan bunga dari Aris.
Ghisel masuk ke toko baju dan mencari Felis.
“Wira tidak menyukai siapa2?” tanya Tasya.
“Wira jarang keluar. Dia kembali dengan cepat saat dia pergi keluar,” jawab Felis sambil mengaca. “Tidakkah kau pikir dia sedikit tidak menyukai Ghisel?” sambung Felis
Ghisel langsung bersembunyi sambil mendengar pembicaraan Tasya dan Felis.
“Kenapa Wira menghindari Ghisel?” tanya Tasya lagi.
“Aku tidak tahu. Apakah Wira berpikir Ghisel menyukainya?” tanya Felis sambil menoleh ke Tasya.
“Apa?”
“Itulah alasan Wira merasa tidak nyaman dan menghindari Ghisel. Itu masuk akal kan?”
Tasya tertawa mendengar analisa Felis.
“Itulah alasanku...” Felis kembali berkaca dan melihat Ghisel yang sedang bersembunyi dari pantulan kaca. Dia langsung berhenti berbicara. “Ghisel!”
Ghisel langsung datang dan bersikap seakan-akan tidak mendengar apapun.
Tasya dan Felis saling berpandangan dengan salah tingkah.
Aris duduk di sebelah Wira yang sedang melukis di studio. Aris meminta bantuan Wira karena menurutnya Wira tahu Ghisel lebih baik.
Wira hanya tersenyum kecil sambil terus melukis. “Kenapa kau bisa berpikir begitu?”
“Aku rasa dia mirip denganmu. Dia menyukai semua yang kau katakan. Dia menyukai Love Story. Dia juga suka Baby’s Breath.”
Wira menolak pendapat Aris.
“Ayolah! Beri aku beberapa petunjuk. Kalau aku tidak bisa melakukan apapun saat festival, kami akan tetap berteman selamanya.”
Wira berhenti melukis dan menoleh ke arah Aris. “Jangan lakukan apapun. Cukup tunjukkan isi hatimu,” nasehat Wira.
“Bagaimana caranya?”
“Bagaimana caranya? Aku tidak menyukainya,” kata Wira kasar.
Aris merasa aneh dengan nada bicara Wira, dan berpikir dia melakukan sesuatu yang membuat Wira marah.
Wira diam saja dan melepas peralatan melukisnya lalu berpamitan menuju kelas.
Akbar yang memakan buah-buahan di meja studio menyembunyikan buah yang dimakannya saat Wira lewat.
Aris langsung berdiri dan menyusul Wira.
Akbar baru saja merasa lega karena berhasil menyembunyikan buah dan akan memakan buah selanjutnya saat telinganya dijewer oleh pria bertubuh gendut.
Ternyata pria itu pemilik buah-buahan itu. (ckckck.. kebiasaan makan apapun di manapun tidak hilang-hilang juga...)
Felis, Ghisel, dan Tasya keluar dari toko baju. Di luar ada pemeriksaan baju dan rambut mahasiswa oleh polisi. Felis ketakutan karena rok-nya termasuk rok mini. Dia langsung menurunkan roknya sehingga lolos dari pemeriksaan polisi.
Tasya menyindir Felis yang pintar dalam menghindari polisi dan seharusnya Felis begitu juga dalam hal pelajaran.
Felis tidak mendengarkan dan langsung memanggil taxi. Dia pergi seorang diri karena Tasya dan Ghisel ada keperluan lain.
Saat berjalan berdua, Tasya menanyakan pendapat Ghisel tentang Aris. “Kau tahu bahwa Aris menyukaimu kan? Aku tidak bermaksud memberi tekanan. Tapi, aku rasa Aris benar-benar serius”.
Ghisel tersenyum. “Aku benar-benar suka saat Aris mengatakan bahwa cinta datang dari hati. Itulah alasan kita tidak perlu mengatakan maaf (kata-kata Wira kayaknya itu). Aku senang saat dia mengatakan dia menyukaiku.”
Tasya merasa senang karena Aris sepertinya tidak bertepuk sebelah tangan.
“Aku senang mendengarnya, karena aku sedikit khawatir karena apa yang Felis katakan.”
“Apa?” tanya Ghisel.
“Bahwa ada sesuatu antara kau dan Wira.”
Ghisel bingung akan mengatakan apa. Tasya menjatuhkan bom dengan mengatakan bahwa Tasya menyukai Wira. Dia meminta Ghisel tidak mengatakan pada siapa pun karena ini adalah rahasia, bahkan Felis tidak tahu (jelas, kalo Felis tau, maka semua orang juga akan tau..). “Kudengar Wira tidak pernah melukis orang sebelumnya, kecuali orang yang dicintainya. Aku akan membuat Wira hanya melukisku” kata Tasya optimis.
Ghisel tidak mengatakan apapun namun wajahnya menunjukkan dia sedih dan berusaha bersikap biasa.
Akbar menangis malu karena dia disuruh berpose hanya mengenakan handuk di pinggangnya untuk mahasiswa-mahasiswa kesenian.
Ternyata pria yang dimakan buahnya adalah guru di kesenian. Dia menyuruh Akbar mengubah-ubah posisinya.
Para mahasiswa menahan tawa melihat Akbar. (akhirnya, ketiban apes juga Akbar.. hehehe..)
Akbar selesai berganti baju dan mengomel karena dia disuruh berpose untuk dilukis karena dia seorang pria.
Dia bertanya ke salah satu mahasiswa “apakah sudah menjadi tradisi menggambar pria telanjang? dan bagaimana dengan model wanita?”. Mahasiswa itu menjawab “bila wanita maka mereka akan menggambar dengan pose telanjang.”
Akbar terkejut dan berpikir bahwa Wira juga pasti menggambar model wanita itu. Akbar mencari-cari hasil lukisan Wira dengan harapan menemukan lukisan wanita telanjang.
Akbar membuka-buka loker Wira dan menemukan gambar Ghisel di kertas. Di balik gambar di kertas, Akbar menemuka lukisan Ghisel di atas kanvas.
“Bukankah ini Ghisel? Kenapa Wira...?” Akbar akhirnya tau kalo Wira menyukai Ghisel.
Wira berjalan sendirian dengan wajah sedih dan disusul oleh Aris dengan ceria. Aris bertanya apa Wira marah padanya, yang dijawab Wira bahwa dia tidak marah pada Aris.
“Baiklah. Aku akan menunjukkan isi hatiku. Itulah kenapa kau merasa tidak senang kan? Karena mungkin aku akan mematahkan hatinya,” kata Aris sambil berjalan beriringan dengan Wira sambil memeluk bahu Wira.
“Bukan seperti itu,” kata Wira.
“Tentu saja seperti itu. Aku tahu segalanya.”
Wira memandang tajam Aris hingga Aris salah tingkah.
“Kau tidak suka caraku memperlakukan para wanita kan? Karena selama ini banyak wanita yang aku perlakukan tidak baik. Tapi, aku benar-benar serius kali ini. Percayalah padaku.”
Wira tersenyum kecil.
“Apa yang terjadi pada gadis itu?” tanya Aris tiba-tiba.
Wira melihat Aris, tidak mengerti.
“Gadis tiga detik itu. Apa kau tidak bertemu dengannya lagi?”
“Aku menyerah,” kata Wira.
Aris heran dan menanyakan alasannya.
“Dia memiliki orang lain.” Jawab Wira
“Apa? Karena itu kau mundur? Tanpa melawan?”
“Aku tidak bisa melawan dan aku tidak ingin melawan. Kau begitu mudah mengekspresikan perasaanmu, aku benar-benar iri padamu” kata Wira sambil memegang pundak Aris. Aris bingung apa maksud Wira mengatakan begitu dan akan bertanya, namun mereka dipanggil oleh Tasya yang berjalan bersama Ghisel. Wira memandang Ghisel namun segera memalingkan muka.
Aris mengajak Tasya, Ghisel, dan Wira pergi ke suatu tempat karena cuaca sedang bagus. Wira pamit dengan mengatakan bahwa dia ada keperluan.
“Jadi benar ya?” tanya Tasya tiba-tiba. Wira berhenti berjalan dan menoleh ke Tasya.
“Kau merasa tidak nyaman dengan Ghisel?” tanya Tasya lagi.
Wira kaget. Ghisel meminta Tasya agar tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Apa maksudmu?” tanya Aris.
“Felis bilang Wira tidak muncul bila ada Ghisel. Sepertinya Wira menghindari Ghisel.” Aris tidak percaya karena Wira tidak punya alasan untuk menghindari Ghisel.
Ghisel merasa tidak nyaman dan berpamitan karena dia ada kuliah.
Aris kesal dengan Tasya karena berkata hal seperti itu. Aris lalu menyusul Ghisel.
“Apa kau benar-benar tidak nyaman dengan Ghisel?” tanya Tasya ke Wira.
“Kenapa aku harus merasa tidak nyaman?” tanya Wira balik. “Aris menyukainya. Aku pun setuju,” kata Wira mengelak. Lalu Wira pergi meninggalkan Tasya.
Wira sedang berjalan sendirian saat dia melewati bangku taman.
“Aku rasa, aku tidak bisa melanjutkan lebih lama lagi,” kata Wira dalam hati sambil memandangi bangku taman.
Hari sudah malam dan hujan saat Ghisel keluar dari perpustakaan.
Tiba-tiba Wira yang sedang membawa payung datang dan akan menuju ke perpustakaan. Ghisel menyapa Wira. Suasana canggung melingkupi mereka.
Wira menutup payungnya dan melihat bahwa Ghisel tidak membawa payung.
“Kau tidak membawa payung?” tanya Wira.
“Tidak apa-apa. Aku sedang menunggu teman priaku. Aku bisa pulang bersamanya,” jawab Ghisel.
Wira berpamitan dan masuk. Ghisel merasa sedih.
Tiba-tiba Wira kembali dan memberikan payung ke Ghisel. “Jangan menunggu temanmu. Pulanglah dulu,” kata Wira sambil memegang payung.
Ghisel menerima payung itu.
“Kenapa kau tidak keluar bersama kami hari ini? Kami menantimu,” tanya Wira.
“Aku... Bila kau tidak keluar dengan teman-temanmu karena aku.. aku berpikir lebih baik aku tidak ikut keluar.”
“Siapa yang mengatakan begitu? Aku hanya sedang sibuk. Apakah itu alasan kau tidak ikut keluar?”. Ghisel tersenyum dengan salah tingkah.
“Kau tidak perlu bersikap begitu. Kenapa aku harus merasa tidak nyaman denganmu? Aku merasa senang karena kau dan Aris benar-benar cocok.”
“Aris dan aku belum memutuskan berpacaran,” Ghisel mengoreksi.
Wira kelihatan tidak nyaman dan mengatakan bahwa dia akan mengoreksi pernyataannya. “kalau begitu aku ulangi kata-kataku, semoga kau merasa cocoknya dengannya” kata Wira berpura-pura ceria. Ghisel merasa terkejut dan tidak mengatakan apapun. “Datanglah ke festival. Aku akan menemuimu saat itu,” kata Wira dengan tersenyum lalu berpamitan masuk ke perpustakaan.
Dengan perasaan sedih Ghisel berjalan pulang memakai payung.
Lewat jendela perpustakaan, Wira mengamati Ghisel yang berjalan pulang dengan sedih juga.
Di studio, Wira memandangi lukisan Ghisel.
“Aku pikir perasaan ini bisa berubah,” kata Wira dalam hati.
Dia membulatkan tekad, dan mengambil lukisan-lukisan Ghisel dan memasukkannya dalam lemari.
“Bila aku berubah, kami bisa berteman.”
Wira lalu menutup pintu lemari dengan penuh tekad.

Band Wira, Aris dan Akbar pentas di sebuah festival. Semua orang menikmati penampilan mereka. Setelah selesai pentas mereka bermain permainan di tempat itu.
Mereka menonton Aris karate.
Tasya, Ghisel dan Wira kemudian bermain panahan. Cara mainnya, nama orang yang disukai ditulis di secarik kertas, lalu balon hati ditaruh diatasnya.. Kalau kata penjaganya, kalau bisa memanah hati itu, cintamu sama orang yang ditulis di kertas akan terwujud. Selain itu, siapa yang berhasil memanah balon hati itu dia akan mendapatkan boneka. Tasya mencobanya, dia berkata pada Wira kalau dia hanya ingin bonekanya. Wira mencobanya dua kali sampai balon hati-nya tertembak.
Ghisel juga ikutan permainan itu. Tembakan pertama Wira gagal. Dia mencoba yang kedua, gagal juga. Ghisel masih berharap Wira bisa menembaknya, tapi dia tidak yakin. Tembakan ketiga, Wira berkonsentrasi penuh, tapi tiba-tiba Aris dan Akbar datang. Melihat nama Ghisel yang ditulis di situ, Aris ingin mencobanya, tapi Wira menolak memberikan panahnya ke Aris. Dan tembakan ke tiga... kena!!! Akbar heran melihat Wira yang benar-benar serius.

Masih di tempat yang sama, mereka berenam minum-minum. Mereka berenam main menyebut kata dengan cepat. Siapa yang tidak bisa menyebut kata dengan cepat, dia kalah. Yang kalah harus menjawab pertanyaan dari yang lain. Wira kalah, Tasya bertanya, “Kau penah berkata alasan kau tidak akan melukis potret seseorang, adalah karena kau ingin melukis seseorang yang kau cintai. Apa kau masih memegang kata-kata itu?”. Wira mengiyakan. Tasya melirik Ghisel lalu berkata “benarkan kataku..”
Permainan selanjutnya Aris yang kalah. Tasya bertanya apa yang membedakan Ghisel dengan gadis-gadis lain yang pernah dia pacari? Aris menjawab, itu dari hatinya, “Kali ini aku serius.”. Semuanya tidak percaya. Aris sepertinya sudah punya cap playboy.
 ”Sekarang aku sedikit percaya karena kau pernah berkata ‘Cinta berarti tidak perlu mengucapkan maaf. Cinta datang dari hati, karena cinta datang dari hati, kamu tak perlu mengucapkannya” ucap Tasya.
Namun Aris mengaku “Sebenarnya aku mendapatkan kata-kata itu dari Wira”
Ghisel  dan yang lain kaget mendengarnya.
“Ghisel berkata kalau dia menyukaimu karena kau mengucapkan kata-kata itu.”Sambung Tasya. Semuanya diam, merasa tidak enak karena mereka pikir Ghisel akan menyukai Wira. Suasana yang mulai tegang dicairkan lagi dengan adanya kembang api.
Pesta usai, semua orang mulai keluar dari arena festival. Tiba-tiba papan yang digunakan sebagai hiasan di pintu masuk roboh, tepat saat Ghisel ada di bawahnya. Wira langsung melompat melindungi Ghisel. Wira yang akhirnya tertindih papan. Badannya jatuh di posisi yang tidak tepat, sehingga membuat tangannya kesakitan.

Di rumah sakit semua mengkhawatirkan Wira, apalagi Ghisel. Ghisel tegang sekali, merasa bersalah dengan Wira serta takut Wira kenapa-kenapa.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ghisel khawatir.
“Aku tidak apa-apa. Bagaimana denganmu?” Ucap Wira
“Kau tidak perlu bertanya keadaanku, orang tuaku meninggal karena menyelamatkanku.”
“Jadi kau takut aku akan bernasib sama seperti orang tuamu? Apa kau se khawatir itu?” tanya Wira
“Yang terluka tangan kananmu kan?” Alih Ghisel.
“Bagaimana kau akan melukis lagi? Dan bahkan makanpun..”
“Aku bisa dengan tangan kiriku” Ucap Wira
“Mulai besok aku akan membantumu dan membawa makanan yang ringan dimakan untukmu”
“Bagaimana dengan Aris?”
“Aku tidak peduli. Aku merasa bersalah padamu”
Lagi, Akbar melihat keseriusan Wira yang sangat peduli dengan Ghisel. Sesampainya di asrama, Akbar menginterogasi Wira,
 “Apa tidak ada yang mau kau ceritakan dengan teman sekamarmu ini? misalnya masalah dengan perempuan? Atau... masalah dengan perempuan? Kalau bukan itu, lalu.. masalah dengan perempuan?”.
“Tidak ada.” Jawab Wira kemudian tidur
Wira mencoba melukis dengan tangannya yang di gips, tapi gagal. Akhirnya dia keluar dari ruang lukisnya. Di luar dia bertemu Ghisel yang membawa bekal makanan.
Di cafe, Akbar sedang menyanyi. Felis dengan genitnya kedip-kedip ke Akbar. Akbar kesal melihat kelakuan Felis. Tasya bertanya pada Akbar
“bagaimana keadaan Wira?”.
Akbar menjawab. “Wira memang agak kerepotan karena makan ataupun memakai baju dia harus dibantu oleh orang lain.”
Wira berbicara dengan Ghisel di taman, Ghisel memberikan makanan yang dia buat sendiri. Wira menolaknya.
 “Aku harus pergi ke suatu tempat.” Wira berkata begitu tapi ekspresi wajahnya mengatakan hal yang sebaliknya.
Ghisel mengerti, dia beranjak pergi. “Semoga kau cepat pulih.” Harap Ghisel
Wira menghentikan Ghisel saat dia akan pergi .
“apa kau punya waktu? Aku membutuhkan bantuan”
“aku aka membantumu” jawab Ghisel
Ghisel dan Wira datang ke tempat penjual gitar. Penjual gitar mengira Ghisel adalah pacar Wira. Wira mengambil gitar barunya dan ingin mencoba suara gitar itu. Ghisel berkata kalau dia tidak bisa main gitar. Akhirnya, Wira yang memainkan kunci dengan tangan kirinya, dan Ghisel yang menggenjreng. Kemudian mereka berdua menyanyi bersama. Soo sweet.


Saat kembali mereka berbincang-bincang sebentar.
“aku ingin sekali menonton film Love Story, tapi sekarang film itu sudah tidak diputar di bioskop.”
“Aku minta maaf, karena aku menyuruhmu menonton bersama Aris kau jadi tidak mau menontonnya” Ucap Wira
Ghisel berkata “Cinta itu tidak perlu mengucapkan maaf” Ghisel tidak sengaja mengucapkan itu. “Umm.. ini bukan berarti kalau aku mencintaimu.”kata Ghisel lagi.
“Kalau begitu ayo kita tonton film itu sekarang, bukan berarti bioskop pinggir kota tidak menayangkannya lagi”. Ajak Wira
“Kau mau pergi bersamaku kan?”. Tanya Wira lagi
Lalu Ghisel mengiyakan.

Di cafe, Akbar dan Felis duduk bersama.
Aris datang memberitahukan kepada mereka semua kalau tanggal untuk show di radio sudah diputuskan. Aris mencari Wira untuk mengabarinya juga.
Wira dan Ghisel ada di ruang melukis Wira. Ghisel menyuruh Wira memakan bekalnya, tapi Wira ingin mereka makan bersama-sama. Ghisel tersenyum malu-malu. Tiba-tiba Ghisel melihat sketsa awal seorang perempuan di kanvas Wira. Wira buru-buru mengambil gambar itu dan membaliknya. “Ini Tasya, dia memaksaku untuk melukis dirinya.”kata Wira berbohong.
Ghisel sedih, dia pamit untuk pergi. Wira menahannya, “Jangan pergi, tetaplah di sini dan makan bersamaku.”. Lalu Wira pergi mengambil air.
Ghisel sedih, teringat perkataan Tasya kalau Wira hanya melukis orang yang dia cintai. Lalu, Ghisel melihat sebuah lemari yang terbuka, lemari tempat Wira menyimpan lukisan-lukisannya, termasuk lukisan potret Ghisel. Tiba-tiba Wira teringat dia belum menutup rapat lemari lukisannya. Dia cepat-cepat berlari ke ruangannya. Di ruangan lukis, Ghisel sudah membuka lemari Wira, dia melihat-lihat lukisan Wira. Tidak sengaja Ghisel menjatuhkan lukisan-lukisan itu, lukisan dirinya. Wira datang melihat Ghisel yang melihat lukisan dirinya. Ghisel merasa malu dan tersenyum, lalu dia cepat-cepat keluar dari ruangan itu.
Wira terdiam, kaget dengan kejadian ini. Wira lalu berlari keluar menyusul Ghisel.
Di luar Ghisel senyum-senyum, senang melihat dirinya dilukis Wira.
Wira menjelaskan, “Lukisan itu, aku..”.
Wira mulai salah tingkah.
Ghisel berkata “aku akan mendengarnya lain kali.”
Tapi Wira ingin mengatakannya sekarang. “Aku tidak ingin kau salah faham. Lukisan itu tidak berarti apa-apa. Gambar itu sama saja seperti pemandangan. Kau datang tiba-tiba sebagai pemandanganku saat aku akan melukis hari itu.” Wira benar-benar berbohong.
 Ghisel yang awalnya sangat senang sekarang berubah jadi sangat sedih.
“Selain itu, tanganku sudah membaik, jadi kau tidak perlu membuatkanku makanan lagi. Temanku mungkin bisa menyalah artikan. Yang paling penting, aku tidak mau Aris salah faham. Dia adalah teman yang paling penting untukku.” Sambung Wira lagi.
Setelah mendengar itu, Ghisel pergi dengan sedih.
Akbar datang ke ruang lukis Wira, dia menemukan lukisan Wira yang bergambar Ghisel berserakan. Saat akan membereskannya, Aris dan Tasya keburu datang. Akbar langsung menyeret teman-temannya itu keluar. Tasya bertanya lukisan apa yang berserakan di lantai? Dengan gugup Akbar berkata kalau itu bukan apa-apa.
“Apa itu lukisan telanjang yang aku dengar?”tanya Aris.
“ii..ya..” kata Akbar.
Mereka ingin melihatnya, tapi Akbar melarangnya habis-habisan. Kemudian mereka keluar dari asrama tanpa bertemu Wira.

Wira kembali ke ruangannya dan merasa sedih dia harus berkata seperti itu.
Aris melihat Ghisel sedang berjalan, dia lalu berlari mendekatinya.
Akbar minum-minum ditemani Tasya.
Tasya bertanya “ada apa?”.
“Kau ingin tahu?. Ini ada X dan Y. X bersama dengan A dan Y bersama dengan B. Jadi AX + BY = 0. Tapi kemudian X dan Y ingin bersama A, jadi AX + AY tidak akan berhasil. .”jawab Akbar.

“Jadi apa maksudnya?”tanya Tasya.
Tasya akan pergi karena Akbar tidak mau memberi tahu. Akbar melarangnya, siapa yang akan membayar makanannya?. Tasya menyarankan panggil saja Felis. Akbar menolaknya.

“Kau jahat. Felis menyukaimu, lalu kenapa kau menolaknya? Apa kau tidak menyesal” Bentak Tasya.

“Aku tidak menyesal, aku cemburu. Aku cemburu karena dia punya keberanian untuk berbicara kalau dia menyukai seseorang. Banyak orang yang tidak bisa melakukannya karena keadaan.”.
Tasya bertanya” keadaan apa? “

“Banyak. Seperti, kau menyukai seseorang, tapi orang lain sudah menyukai orang itu, atau orang itu menyukai orang lain. Atau mungkin dia tidak dalam posisi untuk menyukainya”.

“Kalau kau tidak bisa mengatakannya karena alasan seperti itu, itu hanya alasan saja. Alasan untuk tidak ingin terluka. Kalau kau menyukai seseorang, katakan saja. Itu namanya rendahan. Aku akan mengatakannya apapun resikonya, kalau itu aku.”kata Tasya.

“Benarkah?”tanya Akbar. Tasya membenarkan.

“Memangnya siapa yang kau bicarakan? Tanya Tasya.

“Aku menyukaimu.” Akbar tiba-tiba berkata. Tasya bingung.

“siapa yang suka siapa?” tanya tasya kembali.
Akbar hanya diam memandang Tasya. Tasya akhirnya mengerti.
 “Aku menyukaimu dari awal. Dan kau menyukai orang lain, jadi aku tidak bisa mengatakannya.” mendengar kata-kata Akbar ini Tasya hanya diam saja. Sekarang Akbar bingung, apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Aris terus saja mengikuti Ghisel. Ghisel kesal.

“Berhenti!” bentak ghisel

“Berhenti mengikutimu, atau menyukaimu?”tanya Aris.
Ghisel lebih marah lagi,
“Apa yang kau sukai dariku? kau bahkan tak tahu apapun tentangku”. Ucap ghisel

“Apa yang membuatmu menghindar? Kau menyukai orang yang kukenal atau apa?”. Tanya Aris
 Ghisel diam saja mendengar tebakan Aris yang tepat.
“Ibuku, yang meninggal saat aku kecil. Bisakah ini jadi alasannya?”, Jawab ghisel

“Kedua orang tuaku juga sudah meninggal. Bisakah ini aku jadikan alasan untuk aku menyukaimu?”

Tiba-tiba hujan turun, Aris langsung menarik Ghisel untuk berteduh. Aris tiba-tiba mengakatakan sesuatu.
 “Apa kau mau  menjadi kekasihku? Maukah kau berpacaran denganku?.”pinta Aris.

Ghisel hanya terdiam di tengah derasnya hujan.

“ Aku tidak perlu jawabanmu sekarang. Kalau kau mau menjadi pacarku, ikutlah besok bersama kami untuk piknik” Ucap Aris.

Wira terdiam memandangi lukisan Ghisel milik nya di kamarnya.

Awal dari seseorang, adalah akhir dari orang lain. Hanya butuh 3 detik untuk mencintai seseorang pertama kali. Tapi untuk berhenti mencintainya, tidak mungkin hanya 3 detik. Di hari itu, seseorang menjadi pengecut. Seseorang menjadi jujur. Yang lain, hatinya berbunga-bunga. Dan itu adalah pemuda-pemuda yang akan tersakiti dari kita semua.

Wira mencari rumah Ghisel, ingin menyatakan hatinya yang sesungguhnya karena dia tidak ingin menjadi pengecut. Tapi dia melihat Ghisel diantar pulang oleh Aris. Ghisel terlihat senang. Wira pun patah hati. Akhirnya dia pulang ke asrama kembali.

CREATED BY M. WIRA ADITYA M.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Clock

Entri Populer

ARF's Blog. Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Ainur Ridho F's BLOG -Minimalist Blog- Powered by Blogger - Designed by Ainur Ridho F -