Cinta 3 Detik Eps 2 (Love Rain Indonesian Version)
Wira diajak
oleh Aris dan Akbar ikut kencan buta agar bisa mengikuti festival menari bersama
dan mempunyai teman wanita. Aris berkata ini adalah salah satu cara agar dia
bertemu dengan gadis yang disukainya lagi dan bisa mengajaknya nonton film.
Karena itulah dia meminta bantuan Akbar dan Wira. Akbar sangat penasaran dengan gadis yang membuat Aris berusaha sedemikian keras.
“Aku dengar dia satu kelas dengan Tasya,” kata Akbar.
Wira terkejut. “Kesehatan keluarga?” tanyanya.
“Ya. Aris memohon-mohon pada Tasya selama beberapa hari untuk membawanya kesini.”
Wira mulai merasa curiga. Saat Ghisel, Felis, dan Tasya datang kecurigaannya terbukti, bahwa gadis yang disukai Aris adalah Ghisel.
Wira hanya diam saja memandang Ghisel.
Aris berpura-pura seakan-akan kejadian pertemuan mereka tidak disengaja dan ini adalah takdir.
Saat Tasya menanyakan tentang film Love Story, Aris tidak memberi kesempatan Ghisel untuk menjawab dengan langsung mengatakan bahwa Ghisel berjanji akan menonton dengannya bila mereka tidak sengaja bertemu untuk kedua kalinya.
Karena itulah dia meminta bantuan Akbar dan Wira. Akbar sangat penasaran dengan gadis yang membuat Aris berusaha sedemikian keras.
“Aku dengar dia satu kelas dengan Tasya,” kata Akbar.
Wira terkejut. “Kesehatan keluarga?” tanyanya.
“Ya. Aris memohon-mohon pada Tasya selama beberapa hari untuk membawanya kesini.”
Wira mulai merasa curiga. Saat Ghisel, Felis, dan Tasya datang kecurigaannya terbukti, bahwa gadis yang disukai Aris adalah Ghisel.
Wira hanya diam saja memandang Ghisel.
Aris berpura-pura seakan-akan kejadian pertemuan mereka tidak disengaja dan ini adalah takdir.
Saat Tasya menanyakan tentang film Love Story, Aris tidak memberi kesempatan Ghisel untuk menjawab dengan langsung mengatakan bahwa Ghisel berjanji akan menonton dengannya bila mereka tidak sengaja bertemu untuk kedua kalinya.
Setelah
mereka duduk sambil makan bersama tiba-tiba Aris mengatakan sesuatu. Aris
mengkopi kata-kata Wira bahwa cinta datang dari hati dan tulus, karena itu
tidak perlu ada kata maaf. Ghisel tersentuh mendengar kata-kata Aris.
Para pria membuat permainan dengan meletakkan barang kepunyaan mereka secara rahasia dan meminta para gadis memilih. Felis memilih barang kepunyaan Akbar. Saat Ghisel dihadapkan pada pilihan pensil atau tensoplas, Ghisel memilih pensil.
Wira merasa senang dengan pilihan Ghisel, namun pahanya dipukul oleh Aris dan mengatakan bahwa pensil itu adalah miliknya dan bahwa dia dan Ghisel betul-betul berjodoh.
Wira dan Ghisel saling berpandangan namun tidak mengatakan apa-apa.
“Apa yang kukatakan kepada Aris bahwa mungkin gadis yang disukainya menyukai bunga Baby’s breath ternyata benar. Dia gadis yang disukai temanku. Dulu aku merasa bahagia karenanya. Tapi sekarang aku juga merasa sedih karenanya,” kata Wira dalam hati sambil melihat Aris memberikan bunga Baby’s Breath kepada Ghisel.
Saat Ghisel melihat ke arah Wira, Wira tersenyum seakan-akan senang melihat Ghisel menerima karangan bunga dari Aris.
Para pria membuat permainan dengan meletakkan barang kepunyaan mereka secara rahasia dan meminta para gadis memilih. Felis memilih barang kepunyaan Akbar. Saat Ghisel dihadapkan pada pilihan pensil atau tensoplas, Ghisel memilih pensil.
Wira merasa senang dengan pilihan Ghisel, namun pahanya dipukul oleh Aris dan mengatakan bahwa pensil itu adalah miliknya dan bahwa dia dan Ghisel betul-betul berjodoh.
Wira dan Ghisel saling berpandangan namun tidak mengatakan apa-apa.
“Apa yang kukatakan kepada Aris bahwa mungkin gadis yang disukainya menyukai bunga Baby’s breath ternyata benar. Dia gadis yang disukai temanku. Dulu aku merasa bahagia karenanya. Tapi sekarang aku juga merasa sedih karenanya,” kata Wira dalam hati sambil melihat Aris memberikan bunga Baby’s Breath kepada Ghisel.
Saat Ghisel melihat ke arah Wira, Wira tersenyum seakan-akan senang melihat Ghisel menerima karangan bunga dari Aris.
Ghisel masuk
ke toko baju dan mencari Felis.
“Wira tidak menyukai siapa2?” tanya Tasya.
“Wira jarang keluar. Dia kembali dengan cepat saat dia pergi keluar,” jawab Felis sambil mengaca. “Tidakkah kau pikir dia sedikit tidak menyukai Ghisel?” sambung Felis
Ghisel langsung bersembunyi sambil mendengar pembicaraan Tasya dan Felis.
“Kenapa Wira menghindari Ghisel?” tanya Tasya lagi.
“Aku tidak tahu. Apakah Wira berpikir Ghisel menyukainya?” tanya Felis sambil menoleh ke Tasya.
“Apa?”
“Itulah alasan Wira merasa tidak nyaman dan menghindari Ghisel. Itu masuk akal kan?”
Tasya tertawa mendengar analisa Felis.
“Itulah alasanku...” Felis kembali berkaca dan melihat Ghisel yang sedang bersembunyi dari pantulan kaca. Dia langsung berhenti berbicara. “Ghisel!”
Ghisel langsung datang dan bersikap seakan-akan tidak mendengar apapun.
Tasya dan Felis saling berpandangan dengan salah tingkah.
“Wira tidak menyukai siapa2?” tanya Tasya.
“Wira jarang keluar. Dia kembali dengan cepat saat dia pergi keluar,” jawab Felis sambil mengaca. “Tidakkah kau pikir dia sedikit tidak menyukai Ghisel?” sambung Felis
Ghisel langsung bersembunyi sambil mendengar pembicaraan Tasya dan Felis.
“Kenapa Wira menghindari Ghisel?” tanya Tasya lagi.
“Aku tidak tahu. Apakah Wira berpikir Ghisel menyukainya?” tanya Felis sambil menoleh ke Tasya.
“Apa?”
“Itulah alasan Wira merasa tidak nyaman dan menghindari Ghisel. Itu masuk akal kan?”
Tasya tertawa mendengar analisa Felis.
“Itulah alasanku...” Felis kembali berkaca dan melihat Ghisel yang sedang bersembunyi dari pantulan kaca. Dia langsung berhenti berbicara. “Ghisel!”
Ghisel langsung datang dan bersikap seakan-akan tidak mendengar apapun.
Tasya dan Felis saling berpandangan dengan salah tingkah.
Aris duduk
di sebelah Wira yang sedang melukis di studio. Aris meminta bantuan Wira karena
menurutnya Wira tahu Ghisel lebih baik.
Wira hanya tersenyum kecil sambil terus melukis. “Kenapa kau bisa berpikir begitu?”
“Aku rasa dia mirip denganmu. Dia menyukai semua yang kau katakan. Dia menyukai Love Story. Dia juga suka Baby’s Breath.”
Wira menolak pendapat Aris.
“Ayolah! Beri aku beberapa petunjuk. Kalau aku tidak bisa melakukan apapun saat festival, kami akan tetap berteman selamanya.”
Wira berhenti melukis dan menoleh ke arah Aris. “Jangan lakukan apapun. Cukup tunjukkan isi hatimu,” nasehat Wira.
“Bagaimana caranya?”
“Bagaimana caranya? Aku tidak menyukainya,” kata Wira kasar.
Aris merasa aneh dengan nada bicara Wira, dan berpikir dia melakukan sesuatu yang membuat Wira marah.
Wira diam saja dan melepas peralatan melukisnya lalu berpamitan menuju kelas.
Akbar yang memakan buah-buahan di meja studio menyembunyikan buah yang dimakannya saat Wira lewat.
Aris langsung berdiri dan menyusul Wira.
Wira hanya tersenyum kecil sambil terus melukis. “Kenapa kau bisa berpikir begitu?”
“Aku rasa dia mirip denganmu. Dia menyukai semua yang kau katakan. Dia menyukai Love Story. Dia juga suka Baby’s Breath.”
Wira menolak pendapat Aris.
“Ayolah! Beri aku beberapa petunjuk. Kalau aku tidak bisa melakukan apapun saat festival, kami akan tetap berteman selamanya.”
Wira berhenti melukis dan menoleh ke arah Aris. “Jangan lakukan apapun. Cukup tunjukkan isi hatimu,” nasehat Wira.
“Bagaimana caranya?”
“Bagaimana caranya? Aku tidak menyukainya,” kata Wira kasar.
Aris merasa aneh dengan nada bicara Wira, dan berpikir dia melakukan sesuatu yang membuat Wira marah.
Wira diam saja dan melepas peralatan melukisnya lalu berpamitan menuju kelas.
Akbar yang memakan buah-buahan di meja studio menyembunyikan buah yang dimakannya saat Wira lewat.
Aris langsung berdiri dan menyusul Wira.
Akbar baru
saja merasa lega karena berhasil menyembunyikan buah dan akan memakan buah
selanjutnya saat telinganya dijewer oleh pria bertubuh gendut.
Ternyata pria itu pemilik buah-buahan itu. (ckckck.. kebiasaan makan apapun di manapun tidak hilang-hilang juga...)
Ternyata pria itu pemilik buah-buahan itu. (ckckck.. kebiasaan makan apapun di manapun tidak hilang-hilang juga...)
Felis, Ghisel,
dan Tasya keluar dari toko baju. Di luar ada pemeriksaan baju dan rambut
mahasiswa oleh polisi. Felis ketakutan karena rok-nya termasuk rok mini. Dia
langsung menurunkan roknya sehingga lolos dari pemeriksaan polisi.
Tasya menyindir Felis yang pintar dalam menghindari polisi dan seharusnya Felis begitu juga dalam hal pelajaran.
Felis tidak mendengarkan dan langsung memanggil taxi. Dia pergi seorang diri karena Tasya dan Ghisel ada keperluan lain.
Tasya menyindir Felis yang pintar dalam menghindari polisi dan seharusnya Felis begitu juga dalam hal pelajaran.
Felis tidak mendengarkan dan langsung memanggil taxi. Dia pergi seorang diri karena Tasya dan Ghisel ada keperluan lain.
Saat
berjalan berdua, Tasya menanyakan pendapat Ghisel tentang Aris. “Kau tahu bahwa
Aris menyukaimu kan? Aku tidak bermaksud memberi tekanan. Tapi, aku rasa Aris
benar-benar serius”.
Ghisel tersenyum. “Aku benar-benar suka saat Aris mengatakan bahwa cinta datang dari hati. Itulah alasan kita tidak perlu mengatakan maaf (kata-kata Wira kayaknya itu). Aku senang saat dia mengatakan dia menyukaiku.”
Tasya merasa senang karena Aris sepertinya tidak bertepuk sebelah tangan.
“Aku senang mendengarnya, karena aku sedikit khawatir karena apa yang Felis katakan.”
“Apa?” tanya Ghisel.
“Bahwa ada sesuatu antara kau dan Wira.”
Ghisel bingung akan mengatakan apa. Tasya menjatuhkan bom dengan mengatakan bahwa Tasya menyukai Wira. Dia meminta Ghisel tidak mengatakan pada siapa pun karena ini adalah rahasia, bahkan Felis tidak tahu (jelas, kalo Felis tau, maka semua orang juga akan tau..). “Kudengar Wira tidak pernah melukis orang sebelumnya, kecuali orang yang dicintainya. Aku akan membuat Wira hanya melukisku” kata Tasya optimis.
Ghisel tidak mengatakan apapun namun wajahnya menunjukkan dia sedih dan berusaha bersikap biasa.
Ghisel tersenyum. “Aku benar-benar suka saat Aris mengatakan bahwa cinta datang dari hati. Itulah alasan kita tidak perlu mengatakan maaf (kata-kata Wira kayaknya itu). Aku senang saat dia mengatakan dia menyukaiku.”
Tasya merasa senang karena Aris sepertinya tidak bertepuk sebelah tangan.
“Aku senang mendengarnya, karena aku sedikit khawatir karena apa yang Felis katakan.”
“Apa?” tanya Ghisel.
“Bahwa ada sesuatu antara kau dan Wira.”
Ghisel bingung akan mengatakan apa. Tasya menjatuhkan bom dengan mengatakan bahwa Tasya menyukai Wira. Dia meminta Ghisel tidak mengatakan pada siapa pun karena ini adalah rahasia, bahkan Felis tidak tahu (jelas, kalo Felis tau, maka semua orang juga akan tau..). “Kudengar Wira tidak pernah melukis orang sebelumnya, kecuali orang yang dicintainya. Aku akan membuat Wira hanya melukisku” kata Tasya optimis.
Ghisel tidak mengatakan apapun namun wajahnya menunjukkan dia sedih dan berusaha bersikap biasa.
Akbar
menangis malu karena dia disuruh berpose hanya mengenakan handuk di pinggangnya
untuk mahasiswa-mahasiswa kesenian.
Ternyata pria yang dimakan buahnya adalah guru di kesenian. Dia menyuruh Akbar mengubah-ubah posisinya.
Para mahasiswa menahan tawa melihat Akbar. (akhirnya, ketiban apes juga Akbar.. hehehe..)
Ternyata pria yang dimakan buahnya adalah guru di kesenian. Dia menyuruh Akbar mengubah-ubah posisinya.
Para mahasiswa menahan tawa melihat Akbar. (akhirnya, ketiban apes juga Akbar.. hehehe..)
Akbar
selesai berganti baju dan mengomel karena dia disuruh berpose untuk dilukis
karena dia seorang pria.
Dia bertanya ke salah satu mahasiswa “apakah sudah menjadi tradisi menggambar pria telanjang? dan bagaimana dengan model wanita?”. Mahasiswa itu menjawab “bila wanita maka mereka akan menggambar dengan pose telanjang.”
Akbar terkejut dan berpikir bahwa Wira juga pasti menggambar model wanita itu. Akbar mencari-cari hasil lukisan Wira dengan harapan menemukan lukisan wanita telanjang.
Akbar membuka-buka loker Wira dan menemukan gambar Ghisel di kertas. Di balik gambar di kertas, Akbar menemuka lukisan Ghisel di atas kanvas.
“Bukankah ini Ghisel? Kenapa Wira...?” Akbar akhirnya tau kalo Wira menyukai Ghisel.
Dia bertanya ke salah satu mahasiswa “apakah sudah menjadi tradisi menggambar pria telanjang? dan bagaimana dengan model wanita?”. Mahasiswa itu menjawab “bila wanita maka mereka akan menggambar dengan pose telanjang.”
Akbar terkejut dan berpikir bahwa Wira juga pasti menggambar model wanita itu. Akbar mencari-cari hasil lukisan Wira dengan harapan menemukan lukisan wanita telanjang.
Akbar membuka-buka loker Wira dan menemukan gambar Ghisel di kertas. Di balik gambar di kertas, Akbar menemuka lukisan Ghisel di atas kanvas.
“Bukankah ini Ghisel? Kenapa Wira...?” Akbar akhirnya tau kalo Wira menyukai Ghisel.
Wira
berjalan sendirian dengan wajah sedih dan disusul oleh Aris dengan ceria. Aris
bertanya apa Wira marah padanya, yang dijawab Wira bahwa dia tidak marah pada
Aris.
“Baiklah. Aku akan menunjukkan isi hatiku. Itulah kenapa kau merasa tidak senang kan? Karena mungkin aku akan mematahkan hatinya,” kata Aris sambil berjalan beriringan dengan Wira sambil memeluk bahu Wira.
“Bukan seperti itu,” kata Wira.
“Tentu saja seperti itu. Aku tahu segalanya.”
Wira memandang tajam Aris hingga Aris salah tingkah.
“Kau tidak suka caraku memperlakukan para wanita kan? Karena selama ini banyak wanita yang aku perlakukan tidak baik. Tapi, aku benar-benar serius kali ini. Percayalah padaku.”
Wira tersenyum kecil.
“Apa yang terjadi pada gadis itu?” tanya Aris tiba-tiba.
Wira melihat Aris, tidak mengerti.
“Gadis tiga detik itu. Apa kau tidak bertemu dengannya lagi?”
“Aku menyerah,” kata Wira.
Aris heran dan menanyakan alasannya.
“Dia memiliki orang lain.” Jawab Wira
“Apa? Karena itu kau mundur? Tanpa melawan?”
“Aku tidak bisa melawan dan aku tidak ingin melawan. Kau begitu mudah mengekspresikan perasaanmu, aku benar-benar iri padamu” kata Wira sambil memegang pundak Aris. Aris bingung apa maksud Wira mengatakan begitu dan akan bertanya, namun mereka dipanggil oleh Tasya yang berjalan bersama Ghisel. Wira memandang Ghisel namun segera memalingkan muka.
“Baiklah. Aku akan menunjukkan isi hatiku. Itulah kenapa kau merasa tidak senang kan? Karena mungkin aku akan mematahkan hatinya,” kata Aris sambil berjalan beriringan dengan Wira sambil memeluk bahu Wira.
“Bukan seperti itu,” kata Wira.
“Tentu saja seperti itu. Aku tahu segalanya.”
Wira memandang tajam Aris hingga Aris salah tingkah.
“Kau tidak suka caraku memperlakukan para wanita kan? Karena selama ini banyak wanita yang aku perlakukan tidak baik. Tapi, aku benar-benar serius kali ini. Percayalah padaku.”
Wira tersenyum kecil.
“Apa yang terjadi pada gadis itu?” tanya Aris tiba-tiba.
Wira melihat Aris, tidak mengerti.
“Gadis tiga detik itu. Apa kau tidak bertemu dengannya lagi?”
“Aku menyerah,” kata Wira.
Aris heran dan menanyakan alasannya.
“Dia memiliki orang lain.” Jawab Wira
“Apa? Karena itu kau mundur? Tanpa melawan?”
“Aku tidak bisa melawan dan aku tidak ingin melawan. Kau begitu mudah mengekspresikan perasaanmu, aku benar-benar iri padamu” kata Wira sambil memegang pundak Aris. Aris bingung apa maksud Wira mengatakan begitu dan akan bertanya, namun mereka dipanggil oleh Tasya yang berjalan bersama Ghisel. Wira memandang Ghisel namun segera memalingkan muka.
Aris
mengajak Tasya, Ghisel, dan Wira pergi ke suatu tempat karena cuaca sedang
bagus. Wira pamit dengan mengatakan bahwa dia ada keperluan.
“Jadi benar ya?” tanya Tasya tiba-tiba. Wira berhenti berjalan dan menoleh ke Tasya.
“Kau merasa tidak nyaman dengan Ghisel?” tanya Tasya lagi.
Wira kaget. Ghisel meminta Tasya agar tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Apa maksudmu?” tanya Aris.
“Felis bilang Wira tidak muncul bila ada Ghisel. Sepertinya Wira menghindari Ghisel.” Aris tidak percaya karena Wira tidak punya alasan untuk menghindari Ghisel.
Ghisel merasa tidak nyaman dan berpamitan karena dia ada kuliah.
Aris kesal dengan Tasya karena berkata hal seperti itu. Aris lalu menyusul Ghisel.
“Apa kau benar-benar tidak nyaman dengan Ghisel?” tanya Tasya ke Wira.
“Kenapa aku harus merasa tidak nyaman?” tanya Wira balik. “Aris menyukainya. Aku pun setuju,” kata Wira mengelak. Lalu Wira pergi meninggalkan Tasya.
“Jadi benar ya?” tanya Tasya tiba-tiba. Wira berhenti berjalan dan menoleh ke Tasya.
“Kau merasa tidak nyaman dengan Ghisel?” tanya Tasya lagi.
Wira kaget. Ghisel meminta Tasya agar tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Apa maksudmu?” tanya Aris.
“Felis bilang Wira tidak muncul bila ada Ghisel. Sepertinya Wira menghindari Ghisel.” Aris tidak percaya karena Wira tidak punya alasan untuk menghindari Ghisel.
Ghisel merasa tidak nyaman dan berpamitan karena dia ada kuliah.
Aris kesal dengan Tasya karena berkata hal seperti itu. Aris lalu menyusul Ghisel.
“Apa kau benar-benar tidak nyaman dengan Ghisel?” tanya Tasya ke Wira.
“Kenapa aku harus merasa tidak nyaman?” tanya Wira balik. “Aris menyukainya. Aku pun setuju,” kata Wira mengelak. Lalu Wira pergi meninggalkan Tasya.
Wira sedang
berjalan sendirian saat dia melewati bangku taman.
“Aku rasa, aku tidak bisa melanjutkan lebih lama lagi,” kata Wira dalam hati sambil memandangi bangku taman.
“Aku rasa, aku tidak bisa melanjutkan lebih lama lagi,” kata Wira dalam hati sambil memandangi bangku taman.
Hari sudah
malam dan hujan saat Ghisel keluar dari perpustakaan.
Tiba-tiba Wira yang sedang membawa payung datang dan akan menuju ke perpustakaan. Ghisel menyapa Wira. Suasana canggung melingkupi mereka.
Wira menutup payungnya dan melihat bahwa Ghisel tidak membawa payung.
“Kau tidak membawa payung?” tanya Wira.
“Tidak apa-apa. Aku sedang menunggu teman priaku. Aku bisa pulang bersamanya,” jawab Ghisel.
Wira berpamitan dan masuk. Ghisel merasa sedih.
Tiba-tiba Wira yang sedang membawa payung datang dan akan menuju ke perpustakaan. Ghisel menyapa Wira. Suasana canggung melingkupi mereka.
Wira menutup payungnya dan melihat bahwa Ghisel tidak membawa payung.
“Kau tidak membawa payung?” tanya Wira.
“Tidak apa-apa. Aku sedang menunggu teman priaku. Aku bisa pulang bersamanya,” jawab Ghisel.
Wira berpamitan dan masuk. Ghisel merasa sedih.
Tiba-tiba
Wira kembali dan memberikan payung ke Ghisel. “Jangan menunggu temanmu.
Pulanglah dulu,” kata Wira sambil memegang payung.
Ghisel menerima payung itu.
“Kenapa kau tidak keluar bersama kami hari ini? Kami menantimu,” tanya Wira.
“Aku... Bila kau tidak keluar dengan teman-temanmu karena aku.. aku berpikir lebih baik aku tidak ikut keluar.”
“Siapa yang mengatakan begitu? Aku hanya sedang sibuk. Apakah itu alasan kau tidak ikut keluar?”. Ghisel tersenyum dengan salah tingkah.
“Kau tidak perlu bersikap begitu. Kenapa aku harus merasa tidak nyaman denganmu? Aku merasa senang karena kau dan Aris benar-benar cocok.”
“Aris dan aku belum memutuskan berpacaran,” Ghisel mengoreksi.
Wira kelihatan tidak nyaman dan mengatakan bahwa dia akan mengoreksi pernyataannya. “kalau begitu aku ulangi kata-kataku, semoga kau merasa cocoknya dengannya” kata Wira berpura-pura ceria. Ghisel merasa terkejut dan tidak mengatakan apapun. “Datanglah ke festival. Aku akan menemuimu saat itu,” kata Wira dengan tersenyum lalu berpamitan masuk ke perpustakaan.
Ghisel menerima payung itu.
“Kenapa kau tidak keluar bersama kami hari ini? Kami menantimu,” tanya Wira.
“Aku... Bila kau tidak keluar dengan teman-temanmu karena aku.. aku berpikir lebih baik aku tidak ikut keluar.”
“Siapa yang mengatakan begitu? Aku hanya sedang sibuk. Apakah itu alasan kau tidak ikut keluar?”. Ghisel tersenyum dengan salah tingkah.
“Kau tidak perlu bersikap begitu. Kenapa aku harus merasa tidak nyaman denganmu? Aku merasa senang karena kau dan Aris benar-benar cocok.”
“Aris dan aku belum memutuskan berpacaran,” Ghisel mengoreksi.
Wira kelihatan tidak nyaman dan mengatakan bahwa dia akan mengoreksi pernyataannya. “kalau begitu aku ulangi kata-kataku, semoga kau merasa cocoknya dengannya” kata Wira berpura-pura ceria. Ghisel merasa terkejut dan tidak mengatakan apapun. “Datanglah ke festival. Aku akan menemuimu saat itu,” kata Wira dengan tersenyum lalu berpamitan masuk ke perpustakaan.
Dengan
perasaan sedih Ghisel berjalan pulang memakai payung.
Lewat jendela perpustakaan, Wira mengamati Ghisel yang berjalan pulang dengan sedih juga.
Lewat jendela perpustakaan, Wira mengamati Ghisel yang berjalan pulang dengan sedih juga.
Di studio,
Wira memandangi lukisan Ghisel.
“Aku pikir perasaan ini bisa berubah,” kata Wira dalam hati.
Dia membulatkan tekad, dan mengambil lukisan-lukisan Ghisel dan memasukkannya dalam lemari.
“Bila aku berubah, kami bisa berteman.”
Wira lalu menutup pintu lemari dengan penuh tekad.
“Aku pikir perasaan ini bisa berubah,” kata Wira dalam hati.
Dia membulatkan tekad, dan mengambil lukisan-lukisan Ghisel dan memasukkannya dalam lemari.
“Bila aku berubah, kami bisa berteman.”
Wira lalu menutup pintu lemari dengan penuh tekad.
Band Wira,
Aris dan Akbar pentas di sebuah festival. Semua orang menikmati penampilan
mereka. Setelah selesai pentas mereka bermain permainan di tempat itu.
Mereka menonton Aris karate.
Mereka menonton Aris karate.
Tasya,
Ghisel dan Wira kemudian bermain panahan. Cara mainnya, nama orang yang disukai
ditulis di secarik kertas, lalu balon hati ditaruh diatasnya.. Kalau kata
penjaganya, kalau bisa memanah hati itu, cintamu sama orang yang ditulis di
kertas akan terwujud. Selain itu, siapa yang berhasil memanah balon hati itu
dia akan mendapatkan boneka. Tasya mencobanya, dia berkata pada Wira kalau dia
hanya ingin bonekanya. Wira mencobanya dua kali sampai balon hati-nya
tertembak.
Ghisel juga
ikutan permainan itu. Tembakan pertama Wira gagal. Dia mencoba yang kedua,
gagal juga. Ghisel masih berharap Wira bisa menembaknya, tapi dia tidak yakin.
Tembakan ketiga, Wira berkonsentrasi penuh, tapi tiba-tiba Aris dan Akbar
datang. Melihat nama Ghisel yang ditulis di situ, Aris ingin mencobanya, tapi
Wira menolak memberikan panahnya ke Aris. Dan tembakan ke tiga... kena!!! Akbar
heran melihat Wira yang benar-benar serius.
Masih di tempat yang sama, mereka berenam minum-minum. Mereka berenam main menyebut kata dengan cepat. Siapa yang tidak bisa menyebut kata dengan cepat, dia kalah. Yang kalah harus menjawab pertanyaan dari yang lain. Wira kalah, Tasya bertanya, “Kau penah berkata alasan kau tidak akan melukis potret seseorang, adalah karena kau ingin melukis seseorang yang kau cintai. Apa kau masih memegang kata-kata itu?”. Wira mengiyakan. Tasya melirik Ghisel lalu berkata “benarkan kataku..”
Masih di tempat yang sama, mereka berenam minum-minum. Mereka berenam main menyebut kata dengan cepat. Siapa yang tidak bisa menyebut kata dengan cepat, dia kalah. Yang kalah harus menjawab pertanyaan dari yang lain. Wira kalah, Tasya bertanya, “Kau penah berkata alasan kau tidak akan melukis potret seseorang, adalah karena kau ingin melukis seseorang yang kau cintai. Apa kau masih memegang kata-kata itu?”. Wira mengiyakan. Tasya melirik Ghisel lalu berkata “benarkan kataku..”
Permainan
selanjutnya Aris yang kalah. Tasya bertanya apa yang membedakan Ghisel dengan
gadis-gadis lain yang pernah dia pacari? Aris menjawab, itu dari hatinya, “Kali
ini aku serius.”. Semuanya tidak percaya. Aris sepertinya sudah punya cap
playboy.
”Sekarang aku sedikit percaya karena kau pernah berkata ‘Cinta berarti tidak perlu mengucapkan maaf. Cinta datang dari hati, karena cinta datang dari hati, kamu tak perlu mengucapkannya” ucap Tasya.
Namun Aris mengaku “Sebenarnya aku mendapatkan kata-kata itu dari Wira”
Ghisel dan yang lain kaget mendengarnya.
“Ghisel berkata kalau dia menyukaimu karena kau mengucapkan kata-kata itu.”Sambung Tasya. Semuanya diam, merasa tidak enak karena mereka pikir Ghisel akan menyukai Wira. Suasana yang mulai tegang dicairkan lagi dengan adanya kembang api.
”Sekarang aku sedikit percaya karena kau pernah berkata ‘Cinta berarti tidak perlu mengucapkan maaf. Cinta datang dari hati, karena cinta datang dari hati, kamu tak perlu mengucapkannya” ucap Tasya.
Namun Aris mengaku “Sebenarnya aku mendapatkan kata-kata itu dari Wira”
Ghisel dan yang lain kaget mendengarnya.
“Ghisel berkata kalau dia menyukaimu karena kau mengucapkan kata-kata itu.”Sambung Tasya. Semuanya diam, merasa tidak enak karena mereka pikir Ghisel akan menyukai Wira. Suasana yang mulai tegang dicairkan lagi dengan adanya kembang api.
Pesta usai,
semua orang mulai keluar dari arena festival. Tiba-tiba papan yang digunakan
sebagai hiasan di pintu masuk roboh, tepat saat Ghisel ada di bawahnya. Wira
langsung melompat melindungi Ghisel. Wira yang akhirnya tertindih papan.
Badannya jatuh di posisi yang tidak tepat, sehingga membuat tangannya
kesakitan.
Di rumah sakit semua mengkhawatirkan Wira, apalagi Ghisel. Ghisel tegang sekali, merasa bersalah dengan Wira serta takut Wira kenapa-kenapa.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ghisel khawatir.
“Aku tidak apa-apa. Bagaimana denganmu?” Ucap Wira
“Kau tidak perlu bertanya keadaanku, orang tuaku meninggal karena menyelamatkanku.”
“Jadi kau takut aku akan bernasib sama seperti orang tuamu? Apa kau se khawatir itu?” tanya Wira
“Yang terluka tangan kananmu kan?” Alih Ghisel.
“Bagaimana kau akan melukis lagi? Dan bahkan makanpun..”
“Aku bisa dengan tangan kiriku” Ucap Wira
“Mulai besok aku akan membantumu dan membawa makanan yang ringan dimakan untukmu”
“Bagaimana dengan Aris?”
“Aku tidak peduli. Aku merasa bersalah padamu”
Di rumah sakit semua mengkhawatirkan Wira, apalagi Ghisel. Ghisel tegang sekali, merasa bersalah dengan Wira serta takut Wira kenapa-kenapa.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ghisel khawatir.
“Aku tidak apa-apa. Bagaimana denganmu?” Ucap Wira
“Kau tidak perlu bertanya keadaanku, orang tuaku meninggal karena menyelamatkanku.”
“Jadi kau takut aku akan bernasib sama seperti orang tuamu? Apa kau se khawatir itu?” tanya Wira
“Yang terluka tangan kananmu kan?” Alih Ghisel.
“Bagaimana kau akan melukis lagi? Dan bahkan makanpun..”
“Aku bisa dengan tangan kiriku” Ucap Wira
“Mulai besok aku akan membantumu dan membawa makanan yang ringan dimakan untukmu”
“Bagaimana dengan Aris?”
“Aku tidak peduli. Aku merasa bersalah padamu”
Lagi, Akbar
melihat keseriusan Wira yang sangat peduli dengan Ghisel. Sesampainya di
asrama, Akbar menginterogasi Wira,
“Apa tidak ada yang mau kau ceritakan dengan teman sekamarmu ini? misalnya masalah dengan perempuan? Atau... masalah dengan perempuan? Kalau bukan itu, lalu.. masalah dengan perempuan?”.
“Tidak ada.” Jawab Wira kemudian tidur
“Apa tidak ada yang mau kau ceritakan dengan teman sekamarmu ini? misalnya masalah dengan perempuan? Atau... masalah dengan perempuan? Kalau bukan itu, lalu.. masalah dengan perempuan?”.
“Tidak ada.” Jawab Wira kemudian tidur
Wira mencoba
melukis dengan tangannya yang di gips, tapi gagal. Akhirnya dia keluar dari
ruang lukisnya. Di luar dia bertemu Ghisel yang membawa bekal makanan.
Di cafe,
Akbar sedang menyanyi. Felis dengan genitnya kedip-kedip ke Akbar. Akbar kesal
melihat kelakuan Felis. Tasya bertanya pada Akbar
“bagaimana keadaan Wira?”.
Akbar menjawab. “Wira memang agak kerepotan karena makan ataupun memakai baju dia harus dibantu oleh orang lain.”
“bagaimana keadaan Wira?”.
Akbar menjawab. “Wira memang agak kerepotan karena makan ataupun memakai baju dia harus dibantu oleh orang lain.”
Wira
berbicara dengan Ghisel di taman, Ghisel memberikan makanan yang dia buat
sendiri. Wira menolaknya.
“Aku harus pergi ke suatu tempat.” Wira berkata begitu tapi ekspresi wajahnya mengatakan hal yang sebaliknya.
Ghisel mengerti, dia beranjak pergi. “Semoga kau cepat pulih.” Harap Ghisel
Wira menghentikan Ghisel saat dia akan pergi .
“apa kau punya waktu? Aku membutuhkan bantuan”
“aku aka membantumu” jawab Ghisel
“Aku harus pergi ke suatu tempat.” Wira berkata begitu tapi ekspresi wajahnya mengatakan hal yang sebaliknya.
Ghisel mengerti, dia beranjak pergi. “Semoga kau cepat pulih.” Harap Ghisel
Wira menghentikan Ghisel saat dia akan pergi .
“apa kau punya waktu? Aku membutuhkan bantuan”
“aku aka membantumu” jawab Ghisel
Ghisel dan
Wira datang ke tempat penjual gitar. Penjual gitar mengira Ghisel adalah pacar
Wira. Wira mengambil gitar barunya dan ingin mencoba suara gitar itu. Ghisel
berkata kalau dia tidak bisa main gitar. Akhirnya, Wira yang memainkan kunci
dengan tangan kirinya, dan Ghisel yang menggenjreng. Kemudian mereka berdua
menyanyi bersama. Soo sweet.
Saat kembali
mereka berbincang-bincang sebentar.
“aku ingin sekali menonton film Love Story, tapi sekarang film itu sudah tidak diputar di bioskop.”
“aku ingin sekali menonton film Love Story, tapi sekarang film itu sudah tidak diputar di bioskop.”
“Aku minta
maaf, karena aku menyuruhmu menonton bersama Aris kau jadi tidak mau
menontonnya” Ucap Wira
Ghisel berkata “Cinta itu tidak perlu mengucapkan maaf” Ghisel tidak sengaja mengucapkan itu. “Umm.. ini bukan berarti kalau aku mencintaimu.”kata Ghisel lagi.
“Kalau begitu ayo kita tonton film itu sekarang, bukan berarti bioskop pinggir kota tidak menayangkannya lagi”. Ajak Wira
“Kau mau pergi bersamaku kan?”. Tanya Wira lagi
Lalu Ghisel mengiyakan.
Ghisel berkata “Cinta itu tidak perlu mengucapkan maaf” Ghisel tidak sengaja mengucapkan itu. “Umm.. ini bukan berarti kalau aku mencintaimu.”kata Ghisel lagi.
“Kalau begitu ayo kita tonton film itu sekarang, bukan berarti bioskop pinggir kota tidak menayangkannya lagi”. Ajak Wira
“Kau mau pergi bersamaku kan?”. Tanya Wira lagi
Lalu Ghisel mengiyakan.
Di cafe,
Akbar dan Felis duduk bersama.
Aris datang memberitahukan kepada mereka semua kalau tanggal untuk show di radio sudah diputuskan. Aris mencari Wira untuk mengabarinya juga.
Aris datang memberitahukan kepada mereka semua kalau tanggal untuk show di radio sudah diputuskan. Aris mencari Wira untuk mengabarinya juga.
Wira dan
Ghisel ada di ruang melukis Wira. Ghisel menyuruh Wira memakan bekalnya, tapi
Wira ingin mereka makan bersama-sama. Ghisel tersenyum malu-malu. Tiba-tiba
Ghisel melihat sketsa awal seorang perempuan di kanvas Wira. Wira buru-buru
mengambil gambar itu dan membaliknya. “Ini Tasya, dia memaksaku untuk melukis
dirinya.”kata Wira berbohong.
Ghisel sedih, dia pamit untuk pergi. Wira menahannya, “Jangan pergi, tetaplah di sini dan makan bersamaku.”. Lalu Wira pergi mengambil air.
Ghisel sedih, dia pamit untuk pergi. Wira menahannya, “Jangan pergi, tetaplah di sini dan makan bersamaku.”. Lalu Wira pergi mengambil air.
Ghisel
sedih, teringat perkataan Tasya kalau Wira hanya melukis orang yang dia cintai.
Lalu, Ghisel melihat sebuah lemari yang terbuka, lemari tempat Wira menyimpan
lukisan-lukisannya, termasuk lukisan potret Ghisel. Tiba-tiba Wira teringat dia
belum menutup rapat lemari lukisannya. Dia cepat-cepat berlari ke ruangannya.
Di ruangan lukis, Ghisel sudah membuka lemari Wira, dia melihat-lihat lukisan
Wira. Tidak sengaja Ghisel menjatuhkan lukisan-lukisan itu, lukisan dirinya.
Wira datang melihat Ghisel yang melihat lukisan dirinya. Ghisel merasa malu dan
tersenyum, lalu dia cepat-cepat keluar dari ruangan itu.
Wira terdiam, kaget dengan kejadian ini. Wira lalu berlari keluar menyusul Ghisel.
Wira terdiam, kaget dengan kejadian ini. Wira lalu berlari keluar menyusul Ghisel.
Di luar
Ghisel senyum-senyum, senang melihat dirinya dilukis Wira.
Wira menjelaskan, “Lukisan itu, aku..”.
Wira mulai salah tingkah.
Ghisel berkata “aku akan mendengarnya lain kali.”
Tapi Wira ingin mengatakannya sekarang. “Aku tidak ingin kau salah faham. Lukisan itu tidak berarti apa-apa. Gambar itu sama saja seperti pemandangan. Kau datang tiba-tiba sebagai pemandanganku saat aku akan melukis hari itu.” Wira benar-benar berbohong.
Ghisel yang awalnya sangat senang sekarang berubah jadi sangat sedih.
“Selain itu, tanganku sudah membaik, jadi kau tidak perlu membuatkanku makanan lagi. Temanku mungkin bisa menyalah artikan. Yang paling penting, aku tidak mau Aris salah faham. Dia adalah teman yang paling penting untukku.” Sambung Wira lagi.
Setelah mendengar itu, Ghisel pergi dengan sedih.
Wira menjelaskan, “Lukisan itu, aku..”.
Wira mulai salah tingkah.
Ghisel berkata “aku akan mendengarnya lain kali.”
Tapi Wira ingin mengatakannya sekarang. “Aku tidak ingin kau salah faham. Lukisan itu tidak berarti apa-apa. Gambar itu sama saja seperti pemandangan. Kau datang tiba-tiba sebagai pemandanganku saat aku akan melukis hari itu.” Wira benar-benar berbohong.
Ghisel yang awalnya sangat senang sekarang berubah jadi sangat sedih.
“Selain itu, tanganku sudah membaik, jadi kau tidak perlu membuatkanku makanan lagi. Temanku mungkin bisa menyalah artikan. Yang paling penting, aku tidak mau Aris salah faham. Dia adalah teman yang paling penting untukku.” Sambung Wira lagi.
Setelah mendengar itu, Ghisel pergi dengan sedih.
Akbar datang
ke ruang lukis Wira, dia menemukan lukisan Wira yang bergambar Ghisel
berserakan. Saat akan membereskannya, Aris dan Tasya keburu datang. Akbar
langsung menyeret teman-temannya itu keluar. Tasya bertanya lukisan apa yang
berserakan di lantai? Dengan gugup Akbar berkata kalau itu bukan apa-apa.
“Apa itu lukisan telanjang yang aku dengar?”tanya Aris.
“ii..ya..” kata Akbar.
Mereka ingin melihatnya, tapi Akbar melarangnya habis-habisan. Kemudian mereka keluar dari asrama tanpa bertemu Wira.
Wira kembali ke ruangannya dan merasa sedih dia harus berkata seperti itu.
Aris melihat Ghisel sedang berjalan, dia lalu berlari mendekatinya.
“Apa itu lukisan telanjang yang aku dengar?”tanya Aris.
“ii..ya..” kata Akbar.
Mereka ingin melihatnya, tapi Akbar melarangnya habis-habisan. Kemudian mereka keluar dari asrama tanpa bertemu Wira.
Wira kembali ke ruangannya dan merasa sedih dia harus berkata seperti itu.
Aris melihat Ghisel sedang berjalan, dia lalu berlari mendekatinya.
Akbar
minum-minum ditemani Tasya.
Tasya bertanya “ada apa?”.
“Kau ingin tahu?. Ini ada X dan Y. X bersama dengan A dan Y bersama dengan B. Jadi AX + BY = 0. Tapi kemudian X dan Y ingin bersama A, jadi AX + AY tidak akan berhasil. .”jawab Akbar.
“Jadi apa maksudnya?”tanya Tasya.
Tasya akan pergi karena Akbar tidak mau memberi tahu. Akbar melarangnya, siapa yang akan membayar makanannya?. Tasya menyarankan panggil saja Felis. Akbar menolaknya.
Tasya bertanya “ada apa?”.
“Kau ingin tahu?. Ini ada X dan Y. X bersama dengan A dan Y bersama dengan B. Jadi AX + BY = 0. Tapi kemudian X dan Y ingin bersama A, jadi AX + AY tidak akan berhasil. .”jawab Akbar.
“Jadi apa maksudnya?”tanya Tasya.
Tasya akan pergi karena Akbar tidak mau memberi tahu. Akbar melarangnya, siapa yang akan membayar makanannya?. Tasya menyarankan panggil saja Felis. Akbar menolaknya.
“Kau jahat. Felis menyukaimu, lalu kenapa kau menolaknya? Apa kau tidak menyesal” Bentak Tasya.
“Aku tidak menyesal, aku cemburu. Aku cemburu karena dia punya keberanian untuk berbicara kalau dia menyukai seseorang. Banyak orang yang tidak bisa melakukannya karena keadaan.”.
Tasya
bertanya” keadaan apa? “
“Banyak. Seperti, kau menyukai seseorang, tapi orang lain sudah menyukai orang itu, atau orang itu menyukai orang lain. Atau mungkin dia tidak dalam posisi untuk menyukainya”.
“Banyak. Seperti, kau menyukai seseorang, tapi orang lain sudah menyukai orang itu, atau orang itu menyukai orang lain. Atau mungkin dia tidak dalam posisi untuk menyukainya”.
“Kalau kau tidak bisa mengatakannya karena alasan seperti itu, itu hanya alasan saja. Alasan untuk tidak ingin terluka. Kalau kau menyukai seseorang, katakan saja. Itu namanya rendahan. Aku akan mengatakannya apapun resikonya, kalau itu aku.”kata Tasya.
“Benarkah?”tanya Akbar. Tasya membenarkan.
“Memangnya siapa yang kau bicarakan? Tanya Tasya.
“Aku menyukaimu.” Akbar tiba-tiba berkata. Tasya bingung.
“siapa yang suka siapa?” tanya tasya kembali.
Akbar hanya
diam memandang Tasya. Tasya akhirnya mengerti.
“Aku menyukaimu dari awal. Dan kau menyukai
orang lain, jadi aku tidak bisa mengatakannya.” mendengar kata-kata Akbar ini
Tasya hanya diam saja. Sekarang Akbar bingung, apa yang harus dia lakukan
selanjutnya.
Aris terus saja
mengikuti Ghisel. Ghisel kesal.
“Berhenti!”
bentak ghisel
“Berhenti
mengikutimu, atau menyukaimu?”tanya Aris.
Ghisel lebih
marah lagi,
“Apa yang
kau sukai dariku? kau bahkan tak tahu apapun tentangku”. Ucap ghisel
“Apa yang
membuatmu menghindar? Kau menyukai orang yang kukenal atau apa?”. Tanya Aris
Ghisel diam saja mendengar tebakan Aris yang
tepat.
“Ibuku, yang
meninggal saat aku kecil. Bisakah ini jadi alasannya?”, Jawab ghisel
“Kedua orang tuaku juga sudah meninggal. Bisakah ini aku jadikan alasan untuk aku menyukaimu?”
Tiba-tiba hujan turun, Aris langsung menarik Ghisel untuk berteduh. Aris tiba-tiba mengakatakan sesuatu.
“Apa kau mau menjadi kekasihku? Maukah kau berpacaran denganku?.”pinta Aris.
Ghisel hanya terdiam di tengah derasnya hujan.
“ Aku tidak perlu jawabanmu sekarang. Kalau kau mau menjadi pacarku, ikutlah besok bersama kami untuk piknik” Ucap Aris.
Wira terdiam memandangi lukisan Ghisel milik nya di kamarnya.
Awal dari seseorang, adalah akhir dari orang lain. Hanya butuh 3 detik untuk mencintai seseorang pertama kali. Tapi untuk berhenti mencintainya, tidak mungkin hanya 3 detik. Di hari itu, seseorang menjadi pengecut. Seseorang menjadi jujur. Yang lain, hatinya berbunga-bunga. Dan itu adalah pemuda-pemuda yang akan tersakiti dari kita semua.
“Kedua orang tuaku juga sudah meninggal. Bisakah ini aku jadikan alasan untuk aku menyukaimu?”
Tiba-tiba hujan turun, Aris langsung menarik Ghisel untuk berteduh. Aris tiba-tiba mengakatakan sesuatu.
“Apa kau mau menjadi kekasihku? Maukah kau berpacaran denganku?.”pinta Aris.
Ghisel hanya terdiam di tengah derasnya hujan.
“ Aku tidak perlu jawabanmu sekarang. Kalau kau mau menjadi pacarku, ikutlah besok bersama kami untuk piknik” Ucap Aris.
Wira terdiam memandangi lukisan Ghisel milik nya di kamarnya.
Awal dari seseorang, adalah akhir dari orang lain. Hanya butuh 3 detik untuk mencintai seseorang pertama kali. Tapi untuk berhenti mencintainya, tidak mungkin hanya 3 detik. Di hari itu, seseorang menjadi pengecut. Seseorang menjadi jujur. Yang lain, hatinya berbunga-bunga. Dan itu adalah pemuda-pemuda yang akan tersakiti dari kita semua.
Wira mencari rumah Ghisel, ingin menyatakan hatinya yang sesungguhnya karena dia tidak ingin menjadi pengecut. Tapi dia melihat Ghisel diantar pulang oleh Aris. Ghisel terlihat senang. Wira pun patah hati. Akhirnya dia pulang ke asrama kembali.
CREATED BY M. WIRA ADITYA M.
Tag :
Cinta
Cinta 3 Detik Eps. 1 (Love Rain Indonesian version)
Tahun 1990an
Tap.. tap..
tap..
Terdengar suara langkah kaki seorang wanita bernama Ghisella Ananda, yang sedang berjalan di taman sekolah.
“Satu, Dua, Tiga” ucap Wira Aditya di dalam hati. Wira Aditya menatap gadis yang melewatinya dengan tatapan terpesona. “Hanya dalam waktu tiga detik, aku jatuh cinta.”
Terdengar suara langkah kaki seorang wanita bernama Ghisella Ananda, yang sedang berjalan di taman sekolah.
“Satu, Dua, Tiga” ucap Wira Aditya di dalam hati. Wira Aditya menatap gadis yang melewatinya dengan tatapan terpesona. “Hanya dalam waktu tiga detik, aku jatuh cinta.”
Di sebuah kantin sekolah, Akbar sedang bermain gitar sambil menyanyi untuk menghibur teman-temannya setelah ujian. Di belakang Akbar, Aris tiba-tiba datang dan mengatakan
“Dia baru saja memainkan Soundtrack Love Story dalam versi gitar akustik. Tapi permainannya tidak sebaik aku,” goda sahabatnya yang tampan itu. Para wanita di kantin itupun meminta Aris menyanyikan lagu itu tapi Aris tidak mau. Akbar berpura-pura seakan-akan akan memukul sahabatnya itu.
Kejadian itu membuat Akbar kesal. “Aku tidak mendapatkan perhatian sebesar itu meskipun aku menyanyi sampai suaraku serak. Sedangkan dia hanya perlu menunjukkan wajahnya. Aku benci dia,” kata Akbar pada Tasya yang duduk di sebelahnya. Akbar akan mengambil gelas minuman namun tangannya dipukul oleh Tasya karena itu miliknya.
Wira sedang
melukis di atas Kanvas disebelah jendela kelasnya. Dia berdiri untuk membuka
kaca jendela. Dia akan membalikkan badan, namun menoleh lagi karena dia melihat
gadis pujaannya sedang duduk di taman sambil membaca buku. “Cinta pada
pandangan pertama...” katanya dalam hati sambil terus memandangi gadis itu.
Wira langsung mengambil buku lukis dan mulai menggambar Ghisel di bukunya sambil bersandar di dinding.
Aris mencari Wira dan dijawab oleh Tasya bahwa Wira masih di studio.
Akbar bermaksud mengambil minuman Tasya tapi lagi lagi tangannya dipukul. “Itu punyamu juga?” tanya Akbar menutupi perbuatannya.
Aris hanya tertawa melihat kelakuan Akbar dan Tasya.
“Wira tadi cerita kepadaku bahwa dia telah jatuh cinta pada seorang wanita” ucap Aris
“Wira?” tanya Akbar tidak percaya.
Akbar dan Tasya berpandangan. “Tidak mungkin!” kata mereka bersamaan.
“Wira tidak mungkin jatuh cinta,” kata Tasya.
“Kitaa sudah 3 tahun bersamanya. Dan Aku teman sekamarnya tidak pernah melihatnya bersama dengan wanita.” sambung Akbar.
“Coba saja letakkan Wira dengan seorang wanita di pulau terpencil. Aku bertaruh dia tidak akan mengajak bicara wanita itu,” kata Akbar lagi.
“Aku serius! Wira benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama dan katanya dalam 3 detik,” kata Aris.
“Benarkah?” Tasya terlihat cemburu.
Wira langsung mengambil buku lukis dan mulai menggambar Ghisel di bukunya sambil bersandar di dinding.
Aris mencari Wira dan dijawab oleh Tasya bahwa Wira masih di studio.
Akbar bermaksud mengambil minuman Tasya tapi lagi lagi tangannya dipukul. “Itu punyamu juga?” tanya Akbar menutupi perbuatannya.
Aris hanya tertawa melihat kelakuan Akbar dan Tasya.
“Wira tadi cerita kepadaku bahwa dia telah jatuh cinta pada seorang wanita” ucap Aris
“Wira?” tanya Akbar tidak percaya.
Akbar dan Tasya berpandangan. “Tidak mungkin!” kata mereka bersamaan.
“Wira tidak mungkin jatuh cinta,” kata Tasya.
“Kitaa sudah 3 tahun bersamanya. Dan Aku teman sekamarnya tidak pernah melihatnya bersama dengan wanita.” sambung Akbar.
“Coba saja letakkan Wira dengan seorang wanita di pulau terpencil. Aku bertaruh dia tidak akan mengajak bicara wanita itu,” kata Akbar lagi.
“Aku serius! Wira benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama dan katanya dalam 3 detik,” kata Aris.
“Benarkah?” Tasya terlihat cemburu.
Wira masih
menggambar Ghisel yang sedang duduk di taman dengan bukunya. Wira tersenyum
geli saat melihat gadis itu menggaruk kakinya yang gatal. Dia melanjutkan
menggambar, namun saat dia akan melihat Ghisel lagi, ternyata Ghisel sudah
pergi.
Wira yang kaget langsung berlari keluar menuju taman. Dia menoleh ke sana-kemari mencari sosok Ghisel, namun Wira tidak menemukannya. Wira berlari lagi mencari ke tempat lain. Karena tidak memperhatikan depannya, Wira menabrak Ghisel hingga barang-barangnya jatuh.
Wira langsung meminta maaf dan berjongkok mengambil barang-barang Ghisel.
Saat akan memberikan ke Ghisel, Wira baru sadar bahwa yang ditabraknya adalah gadis yang disukainya. “Tiba-tiba-jantungku berdetak seperti mulai gila,” kata Wira dalam hati sambil terpesona. Ghisel merasa diperhatikan Wira lalu menoleh. Namun Wira langsung melanjutkan memunguti barang-barang Ghisel. Saat akan berdiri, kepala mereka terantuk.
“Maaf,” kata Wira sekali lagi sambil menyerahkan buku ke Ghisel.
“Terima kasih,” kata Ghisel lalu dia berjalan pergi, namun tangannya ditahan oleh Wira. “Emm.” kata Wira, bingung akan berkata bagaimana.
“Ya?” tanya Ghisel.
Wira bingung akan mengatakan apa. Dia melepaskan tangannya dari Ghisel.
“Tidak apa-apa,” kata Wira sambil menganggukkan kepala dan berjalan pergi.
Ghisel merasa aneh, namun dia tidak mengatakan apa-apa dan berjalan pergi juga.
Wira yang kaget langsung berlari keluar menuju taman. Dia menoleh ke sana-kemari mencari sosok Ghisel, namun Wira tidak menemukannya. Wira berlari lagi mencari ke tempat lain. Karena tidak memperhatikan depannya, Wira menabrak Ghisel hingga barang-barangnya jatuh.
Wira langsung meminta maaf dan berjongkok mengambil barang-barang Ghisel.
Saat akan memberikan ke Ghisel, Wira baru sadar bahwa yang ditabraknya adalah gadis yang disukainya. “Tiba-tiba-jantungku berdetak seperti mulai gila,” kata Wira dalam hati sambil terpesona. Ghisel merasa diperhatikan Wira lalu menoleh. Namun Wira langsung melanjutkan memunguti barang-barang Ghisel. Saat akan berdiri, kepala mereka terantuk.
“Maaf,” kata Wira sekali lagi sambil menyerahkan buku ke Ghisel.
“Terima kasih,” kata Ghisel lalu dia berjalan pergi, namun tangannya ditahan oleh Wira. “Emm.” kata Wira, bingung akan berkata bagaimana.
“Ya?” tanya Ghisel.
Wira bingung akan mengatakan apa. Dia melepaskan tangannya dari Ghisel.
“Tidak apa-apa,” kata Wira sambil menganggukkan kepala dan berjalan pergi.
Ghisel merasa aneh, namun dia tidak mengatakan apa-apa dan berjalan pergi juga.
Wira berhenti berjalan dan menoleh memandang Ghisel.
“Hal lucu yang aku pikirkan, adalah bahwa aku dilahirkan di dunia untuk
mencintainya,” kata Wira dalam hati sambil terus memandang Ghisel
Ghisel yang merasa diperhatikan menoleh, tapi Wira langsung membuang muka.
Ghisel yang merasa diperhatikan menoleh, tapi Wira langsung membuang muka.
Wira
memandangi Ghisel yang berjalan pergi lalu menghela nafas kesal karena dia
tidak bisa berkata apa-apa di depan Ghisel.
Wira akan berjalan pergi, tapi dia baru ingat bahwa pensilnya terjatuh saat bertabrakan dengan Ghisel. Dia mencari pensilnya dan memungutnya. Tiba-tiba dia melihat bahwa buku Ghisel ada yang terjatuh di rerumputan dan tertinggal.
Dia membuka buku Ghisel dan membaca nama Ghisella di buku itu. Wira melanjutkan membuka buku itu yang ternyata adalah buku harian Ghisel.
Wira akan menyusul Ghisel dan mengembalikannya namun dia dipanggil oleh teman-temannya. Wira langsung menyembunyikan diari Ghisel di belakang punggungnya. Akbar mengeluarkan gitar yang dibawanya. Wira langsung semangat.
Wira akan berjalan pergi, tapi dia baru ingat bahwa pensilnya terjatuh saat bertabrakan dengan Ghisel. Dia mencari pensilnya dan memungutnya. Tiba-tiba dia melihat bahwa buku Ghisel ada yang terjatuh di rerumputan dan tertinggal.
Dia membuka buku Ghisel dan membaca nama Ghisella di buku itu. Wira melanjutkan membuka buku itu yang ternyata adalah buku harian Ghisel.
Wira akan menyusul Ghisel dan mengembalikannya namun dia dipanggil oleh teman-temannya. Wira langsung menyembunyikan diari Ghisel di belakang punggungnya. Akbar mengeluarkan gitar yang dibawanya. Wira langsung semangat.
Ghisel
menyadari bahwa diarinya tidak ada di tas dan langsung berlari mencari diarinya
namun tidak menemukannya.
Sesampainya
di rumah, Wira membuka-buka diari Ghisel dan membaca tulisan Ghisel :
‘Cinta tidak pernah mengatakan maaf’ Itulah kalimat dari film Love Story yang orang tuaku suka tonton sebelum mereka meninggal. Aku masih belum mengerti arti kalimat ini.
‘Cinta tidak pernah mengatakan maaf’ Itulah kalimat dari film Love Story yang orang tuaku suka tonton sebelum mereka meninggal. Aku masih belum mengerti arti kalimat ini.
“Orang
tuanya sudah meninggal ternyata,” kata Wira berbicara sendiri. Lalu dia
memasukkan diari itu ke tasnya lagi.
Wira menunggu
Ghisel di taman untuk mengembalikan diarinya. Dia sudah lama menunggu tapi
tidak bertemu dengan Ghisel. Wira memutuskan pergi.
“Emm, permisi,” terdengar suara wanita memanggil Wira.
Ternyata yang memanggilnya adalah Ghisel.
“Emm.. Apakah kau menemukan diariku..., maksudku buku kuning kemarin?”
Wira akan mengambil buku itu di tasnya saat dia mendengar Ghisel berkata pelan, “Aku harap tidak ada yang membacanya.”
Di saat bersamaan, seorang dosen memanggil Ghisel dengan suara keras. Ghisel mengira Wira tidak menemukan diarinya, lalu dia berpamitan.
Kelihatannya Wira merasa bersalah karena telah membaca diari Ghisel sehingga dia takut akan mengembalikannya. Tiba-tiba teman-teman Wira datang.
“Emm, permisi,” terdengar suara wanita memanggil Wira.
Ternyata yang memanggilnya adalah Ghisel.
“Emm.. Apakah kau menemukan diariku..., maksudku buku kuning kemarin?”
Wira akan mengambil buku itu di tasnya saat dia mendengar Ghisel berkata pelan, “Aku harap tidak ada yang membacanya.”
Di saat bersamaan, seorang dosen memanggil Ghisel dengan suara keras. Ghisel mengira Wira tidak menemukan diarinya, lalu dia berpamitan.
Kelihatannya Wira merasa bersalah karena telah membaca diari Ghisel sehingga dia takut akan mengembalikannya. Tiba-tiba teman-teman Wira datang.
“Wah, dia
cantik,” kata Akbar
“Dia teman sekelasmu?” tanya Aris kepada Tasya.
“Ya. Tapi aku tidak kenal dia. Karena dia sangat pemalu.” Jawab Tasya
“Dia Madonna kelasmu kan ?!” kata Akbar bersemangat.
“Madonna?” kata Wira dan Aris bersamaan.
“Iya karena dia Mahasiswa yang cerdas di kelas” kata Tasya lagi dengan sinis..
Aris memandang Ghisel dengan terpesona. “Tiga detik?”
Wira menoleh ke arah Aris. “Tidak ada apa-apa,” kata Aris sambil tersenyum lalu berpamitan masuk ke kelas.
“Dia teman sekelasmu?” tanya Aris kepada Tasya.
“Ya. Tapi aku tidak kenal dia. Karena dia sangat pemalu.” Jawab Tasya
“Dia Madonna kelasmu kan ?!” kata Akbar bersemangat.
“Madonna?” kata Wira dan Aris bersamaan.
“Iya karena dia Mahasiswa yang cerdas di kelas” kata Tasya lagi dengan sinis..
Aris memandang Ghisel dengan terpesona. “Tiga detik?”
Wira menoleh ke arah Aris. “Tidak ada apa-apa,” kata Aris sambil tersenyum lalu berpamitan masuk ke kelas.
Saat di
kelas, Wira membaca-baca diari Ghisel. Dia membaca bahwa tempat duduk di taman
adalah favorit Ghisel.
Wira melihat
keluar jendela dan berharap dia melihat Ghisel, namun Ghisel tidak ada di
taman.
Dia mengingat-ingat tulisan di diari Ghisel yang mengatakan ingin menonton film Love Story yang diputar ulang.
Dia mengingat-ingat tulisan di diari Ghisel yang mengatakan ingin menonton film Love Story yang diputar ulang.
Sambil duduk
di taman asrama, Wira membaca diari Ghisel. “Tiap malam, aku membaca diarinya.
Aku ingin mengenal dia lebih dalam,” kata Wira dalam hati sambil memandang
langit malam.
Keesokan
harinya, Wira membeli tiket film Love Story yang ingin Ghisel tonton.
Wira pergi ke perpustakaan dan mencari buku The Prince yang disukai oleh Ghisel menurut diari Ghisel. Di saat bersamaan, Ghisel juga mencari buku di balik rak. Pandangan Ghisel dan Wira bertemu.
Wira merasa malu lalu buru-buru pergi membawa buku itu. Namun Wira menabrak Mahasiswa yang membawa buku perpustakaan hingga buku-buku berserakan. Orang-orang memperhatikan Wira. Ghisel mendatangi Wira dan membantunya memunguti buku-buku.
Mahasiswa itu mengangkat buku The Prince dan bertanya pada Wira “apa ini bukumu?” . Ghisel memandangi buku itu lalu menoleh ke Wira . Namun Wira tidak mengaku dan langsung pamit pergi.
Felis mendatangi Ghisel dan bertanya apa dia mengenal Wira.
“Tidak, tidak terlalu. Kenapa?” tanya Ghisel balik.
Felis merasa heran karena Ghisel tidak dengar tentang trio C’est La Vie. Akhirnya Felis menerangkan ke Ghisel.
“Yang pertama Dj Aris Febrian. Nama panggilannya Cassanova. Dia mahasiswa kedokteran. Dia tampan. Dia pintar. Bahkan dia baik hati. Para wanita tidak pernah meninggalkannya sendirian. Yang kedua adalah Fauzayn Akbar. Dia selalu mencari makanan di manapun. Tapi ketika dia menyanyi, dia sangat mempesona. Orang-orang memaafkannya karena suaranya. Dan orang yang terakhir, Wira Aditya. Dia misterius. Dia mahasiswa kesenian dengan karisma lembut. Dialah yang mengarang lagu untuk mereka. Dia memiliki jiwa artistic sehingga bisa memenangkan beberapa kontes lukis. Aku dengar dia sudah punya tunangan.”
Ghisel kaget. “Dia benar-benar punya tunangan?”
Felis mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku tidak punya,” kata Wira. Ghisel dan Felis kaget karena Wira mendengar mereka membicarakannya.
“Aku tidak punya tunangan” lanjut Wira sambil menatap Ghisel.
Wira lalu membuang sampah dan pergi.
Felis merasa malu karena Wira dengar pembicaraan mereka. Ghisel tidak menjawab karena dia juga merasa malu.
Wira pergi ke perpustakaan dan mencari buku The Prince yang disukai oleh Ghisel menurut diari Ghisel. Di saat bersamaan, Ghisel juga mencari buku di balik rak. Pandangan Ghisel dan Wira bertemu.
Wira merasa malu lalu buru-buru pergi membawa buku itu. Namun Wira menabrak Mahasiswa yang membawa buku perpustakaan hingga buku-buku berserakan. Orang-orang memperhatikan Wira. Ghisel mendatangi Wira dan membantunya memunguti buku-buku.
Mahasiswa itu mengangkat buku The Prince dan bertanya pada Wira “apa ini bukumu?” . Ghisel memandangi buku itu lalu menoleh ke Wira . Namun Wira tidak mengaku dan langsung pamit pergi.
Felis mendatangi Ghisel dan bertanya apa dia mengenal Wira.
“Tidak, tidak terlalu. Kenapa?” tanya Ghisel balik.
Felis merasa heran karena Ghisel tidak dengar tentang trio C’est La Vie. Akhirnya Felis menerangkan ke Ghisel.
“Yang pertama Dj Aris Febrian. Nama panggilannya Cassanova. Dia mahasiswa kedokteran. Dia tampan. Dia pintar. Bahkan dia baik hati. Para wanita tidak pernah meninggalkannya sendirian. Yang kedua adalah Fauzayn Akbar. Dia selalu mencari makanan di manapun. Tapi ketika dia menyanyi, dia sangat mempesona. Orang-orang memaafkannya karena suaranya. Dan orang yang terakhir, Wira Aditya. Dia misterius. Dia mahasiswa kesenian dengan karisma lembut. Dialah yang mengarang lagu untuk mereka. Dia memiliki jiwa artistic sehingga bisa memenangkan beberapa kontes lukis. Aku dengar dia sudah punya tunangan.”
Ghisel kaget. “Dia benar-benar punya tunangan?”
Felis mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku tidak punya,” kata Wira. Ghisel dan Felis kaget karena Wira mendengar mereka membicarakannya.
“Aku tidak punya tunangan” lanjut Wira sambil menatap Ghisel.
Wira lalu membuang sampah dan pergi.
Felis merasa malu karena Wira dengar pembicaraan mereka. Ghisel tidak menjawab karena dia juga merasa malu.
Wira dan Ghisel
sedang menunggu hujan reda dan tidak sengaja berdiri berdekatan.
Mereka saling menyapa dengan menganggukkan kepala namun tidak mengatakan apa-apa karena sama-sama malu.
“Permisi. Tolong tunggu di sini sebentar,” kata Wira ke Ghisel. Wira lalu langsung berlari ke dalam dan menuju perpustakaan untuk mencari pinjaman payung. Ada seorang wanita yang memiliki payung namun Wira malu meminjam.
Ghisel sedang menunggu Wira dan melihat ke dalam.
Wira mencari-cari payung di gudang perpustakaan dan menemukan payung berwarna kuning di tumpukan buku. Dia langsung berlari keluar.
Ghisel merasa senang melihat usaha Wira mencari payung. Wira membuka payung itu dengan senang tapi... penyangganya rusak sehingga payung tidak mau membuka lebar.
Ghisel tersenyum kecil. Wira akhirnya menyangga payung dengan tangannya dan memayungi Ghisel.
“Umm.. Apakah kita pulang sekarang?” tanya Wira.
Ghisel tertawa senang melihat tingkah laku Wira. Mereka kemudian berjalan pulang bersama. Saat berjalan bersama, Wira mengungkit tentang kejadian dia dan Felis membicarakan soal Wira memiliki tunangan. Wira menegaskan lagi bahwa dia tidak memiliki tunangan. Ghisel memperhatikan baju Wira yang terkena air hujan karena posisi payung yang lebih condong ke Ghisel. Ghisel ingin menggeser payung, tapi dihalangi oleh Wira. “Aku baik-baik saja,” kata Wira.
“Aku juga baik-baik saja,” kata Ghisel lalu menggeser payung lagi. Namun oleh Wira payung digeser ke arah Ghisel lagi.
“Kalau begitu, lebih mendekatlah ke arahku,” kata Ghisel akhirnya.
Wira menuruti permintaan Ghisel dan dia mendekat ke Ghisel.
Tapi karena Wira merasa salah tingkah tiap bahunya bersinggungan dengan bahu Ghisel, payung digeser lagi dan dia menjauh. Pada akhirnya Wira basah kuyup. Ghisel melihat ke Wira dan bertanya “Apa kau menyukai hujan?”
“Ya. Aku menyukainya. Hujan membuatku merasa sedih atau bahagia,” jawab Wira.
“Aku juga merasakan hal yang sama,” kata Ghisel lalu tersenyum kecil.
Mereka berjalan dalam diam lagi.
“Buku itu...” kata Ghisel.
“The Little Prince?” sambung Wira
“Di salah satu puisi di buku itu, ada stanza.. ‘Cinta memiliki dua wajah, kebahagiaan dan kesedihan’. Aku rasa hujan sama seperti cinta,” kata Ghisel.
Mereka saling menyapa dengan menganggukkan kepala namun tidak mengatakan apa-apa karena sama-sama malu.
“Permisi. Tolong tunggu di sini sebentar,” kata Wira ke Ghisel. Wira lalu langsung berlari ke dalam dan menuju perpustakaan untuk mencari pinjaman payung. Ada seorang wanita yang memiliki payung namun Wira malu meminjam.
Ghisel sedang menunggu Wira dan melihat ke dalam.
Wira mencari-cari payung di gudang perpustakaan dan menemukan payung berwarna kuning di tumpukan buku. Dia langsung berlari keluar.
Ghisel merasa senang melihat usaha Wira mencari payung. Wira membuka payung itu dengan senang tapi... penyangganya rusak sehingga payung tidak mau membuka lebar.
Ghisel tersenyum kecil. Wira akhirnya menyangga payung dengan tangannya dan memayungi Ghisel.
“Umm.. Apakah kita pulang sekarang?” tanya Wira.
Ghisel tertawa senang melihat tingkah laku Wira. Mereka kemudian berjalan pulang bersama. Saat berjalan bersama, Wira mengungkit tentang kejadian dia dan Felis membicarakan soal Wira memiliki tunangan. Wira menegaskan lagi bahwa dia tidak memiliki tunangan. Ghisel memperhatikan baju Wira yang terkena air hujan karena posisi payung yang lebih condong ke Ghisel. Ghisel ingin menggeser payung, tapi dihalangi oleh Wira. “Aku baik-baik saja,” kata Wira.
“Aku juga baik-baik saja,” kata Ghisel lalu menggeser payung lagi. Namun oleh Wira payung digeser ke arah Ghisel lagi.
“Kalau begitu, lebih mendekatlah ke arahku,” kata Ghisel akhirnya.
Wira menuruti permintaan Ghisel dan dia mendekat ke Ghisel.
Tapi karena Wira merasa salah tingkah tiap bahunya bersinggungan dengan bahu Ghisel, payung digeser lagi dan dia menjauh. Pada akhirnya Wira basah kuyup. Ghisel melihat ke Wira dan bertanya “Apa kau menyukai hujan?”
“Ya. Aku menyukainya. Hujan membuatku merasa sedih atau bahagia,” jawab Wira.
“Aku juga merasakan hal yang sama,” kata Ghisel lalu tersenyum kecil.
Mereka berjalan dalam diam lagi.
“Buku itu...” kata Ghisel.
“The Little Prince?” sambung Wira
“Di salah satu puisi di buku itu, ada stanza.. ‘Cinta memiliki dua wajah, kebahagiaan dan kesedihan’. Aku rasa hujan sama seperti cinta,” kata Ghisel.
Di pinggir
jalan ada genangan air dan saat ada mobil lewat, Wira langsung menghadang air
yang menyembur ke arah Ghisel.
“Kau baik-baik saja?” tanya mereka berdua bersamaan.
Mereka salah tingkah. “Pegang ini,” kata Wira sambil menyodorkan gagang payung. “Aku lupa bahwa aku harus pergi ke suatu tempat.” Wira kemudian pamit dan berjalan pergi.
“Anu..” kata Ghisel. Wira menoleh.
“Kapan aku harus mengembalikan payung ini padamu?” tanya Ghisel.
“Oh, ini.” Wira kebingungan harus menjawab apa. “Apa yang kau lakukan Minggu ini?” tanya Wira tiba-tiba dengan mengumpulkan segala keberaniannya.
Ghisel merasa kaget bercampur heran.
“Anu.. Film,” kata Wira terbata-bata..
“Love Story..” kata Wira lagi.
“Love Story? Aku sangat ingin menonton film itu,” kata Ghisel bersemangat.
Wira tersenyum. “Kalau begitu, kau mau menontonnya bersamaku?”
Ghisel tersenyum malu tapi akhirnya menganggukkan kepala.
“Sudah diputuskan kalau begitu,” kata Wira dengan senang kemudian pamit dan berlari pergi. Tiba-tiba Wira berhenti. “Aku mengambil payung itu di perpustakaan. Jadi kau tidak perlu khawatir,” kata Wira sambil tersenyum. Dia akan berlari lagi, tapi tersandung. Dia menoleh ke arah Ghisel dengan malu dan berpamitan lagi sebelum pergi.
“Kau baik-baik saja?” tanya mereka berdua bersamaan.
Mereka salah tingkah. “Pegang ini,” kata Wira sambil menyodorkan gagang payung. “Aku lupa bahwa aku harus pergi ke suatu tempat.” Wira kemudian pamit dan berjalan pergi.
“Anu..” kata Ghisel. Wira menoleh.
“Kapan aku harus mengembalikan payung ini padamu?” tanya Ghisel.
“Oh, ini.” Wira kebingungan harus menjawab apa. “Apa yang kau lakukan Minggu ini?” tanya Wira tiba-tiba dengan mengumpulkan segala keberaniannya.
Ghisel merasa kaget bercampur heran.
“Anu.. Film,” kata Wira terbata-bata..
“Love Story..” kata Wira lagi.
“Love Story? Aku sangat ingin menonton film itu,” kata Ghisel bersemangat.
Wira tersenyum. “Kalau begitu, kau mau menontonnya bersamaku?”
Ghisel tersenyum malu tapi akhirnya menganggukkan kepala.
“Sudah diputuskan kalau begitu,” kata Wira dengan senang kemudian pamit dan berlari pergi. Tiba-tiba Wira berhenti. “Aku mengambil payung itu di perpustakaan. Jadi kau tidak perlu khawatir,” kata Wira sambil tersenyum. Dia akan berlari lagi, tapi tersandung. Dia menoleh ke arah Ghisel dengan malu dan berpamitan lagi sebelum pergi.
Ghisel sudah
sampai di halte bis dan menutup payung dengan tersenyum.
Dia melihat poster film Love Story lalu dia membuka payungnya lagi dan mendekat ke poster. “Kau akan basah kuyup,” sapa Aris dari belakang. Ghisel memandang ke arah Aris.
“Kau mau bertukar payung denganku?” Aris menawarkan.
“Apa?” tanya Ghisel.
“Kau basah. Bahkan aku bisa melihat tetesan hujan. Ayo, bertukar payung.”
“Tidak, aku baik-baik saja.” Kata Ghisel
Aris lalu mengambil saputangan ke Ghisel dan menyuruhnya mengelap tetesan hujan di badannya. Ghisel menolak juga tawaran saputangan Aris.
Aris memasukkan saputangannya dan penasaran dengan keacuhan Ghisel. “Apakah kau tidak mengenaliku?” tanya Aris.
Ghisel memperhatikan Aris lalu berkata, “Tidak” jawab Ghisel
“Kita pernah bertemu sebelumnya. Apa kau tidak ingat?”
Ghisel tetap tidak ingat.
“Ah, kau melukai harga diriku. Kau mahasiswa kesehatan keluarga kan?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Temanku satu kelas denganmu. Aku melihatmu beberapa kali di kampus.”
Ghisel diam saja.
Aris lalu melanjutkan pembicaraan. Dia memperhatikan bahwa Ghisel malihat poster film Love Story dan mengajak Ghisel menonton bersama. Namun dari bahasa tubuh Ghisel, Aris tahu Ghisel menolaknya.
Akhirnya Aris berkata mereka akan menonton bersama bila mereka bertemu secara tidak sengaja sekali lagi.
Ghisel ingin menolak namun bisnya sudah datang. Aris menyuruhnya masuk. Ghisel pamit, kemudian masuk bis.
Dia melihat poster film Love Story lalu dia membuka payungnya lagi dan mendekat ke poster. “Kau akan basah kuyup,” sapa Aris dari belakang. Ghisel memandang ke arah Aris.
“Kau mau bertukar payung denganku?” Aris menawarkan.
“Apa?” tanya Ghisel.
“Kau basah. Bahkan aku bisa melihat tetesan hujan. Ayo, bertukar payung.”
“Tidak, aku baik-baik saja.” Kata Ghisel
Aris lalu mengambil saputangan ke Ghisel dan menyuruhnya mengelap tetesan hujan di badannya. Ghisel menolak juga tawaran saputangan Aris.
Aris memasukkan saputangannya dan penasaran dengan keacuhan Ghisel. “Apakah kau tidak mengenaliku?” tanya Aris.
Ghisel memperhatikan Aris lalu berkata, “Tidak” jawab Ghisel
“Kita pernah bertemu sebelumnya. Apa kau tidak ingat?”
Ghisel tetap tidak ingat.
“Ah, kau melukai harga diriku. Kau mahasiswa kesehatan keluarga kan?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Temanku satu kelas denganmu. Aku melihatmu beberapa kali di kampus.”
Ghisel diam saja.
Aris lalu melanjutkan pembicaraan. Dia memperhatikan bahwa Ghisel malihat poster film Love Story dan mengajak Ghisel menonton bersama. Namun dari bahasa tubuh Ghisel, Aris tahu Ghisel menolaknya.
Akhirnya Aris berkata mereka akan menonton bersama bila mereka bertemu secara tidak sengaja sekali lagi.
Ghisel ingin menolak namun bisnya sudah datang. Aris menyuruhnya masuk. Ghisel pamit, kemudian masuk bis.
Aris merasa
senang karena bisa mengajak bicara Ghisel.
Dalam
keadaan basah kuyup, Wira melanjutkan lukisan bergambar Ghisel dengan semangat.
(kelihatannya lukisan Ghisel alasan Wira cepat-cepat pergi)
Di restoran, Aris sedang menjadi Dj. “Lagu ini aku persembahkan untuk orang-orang yang jatuh cinta padaku di hari berhujan seperti aku,” katanya.
Akbar terkejut mendengar perkataan Aris. Namun, Tasya membantah dan mengatakan bahwa Aris selalu berkata seperti itu.
Di restoran, Aris sedang menjadi Dj. “Lagu ini aku persembahkan untuk orang-orang yang jatuh cinta padaku di hari berhujan seperti aku,” katanya.
Akbar terkejut mendengar perkataan Aris. Namun, Tasya membantah dan mengatakan bahwa Aris selalu berkata seperti itu.
Saat Wira
sedang mengarang lagu sambil memikirkan Ghisel di balkon, Aris datang. Aris
memuji karangan Wira dan menyuruhnya menampilkan di restoran, tapi Wira tidak
mau.
Aris tiba-tiba bertanya, “Tiga detik yang kau katakan padaku... Kau sudah menemukan gadis takdirmu kan? Itulah alasan kau mengarang lagu kan?”
Wira hanya tersenyum kecil. Aris merasa senang untuk Wira dan berkata bahwa mereka benar-benar teman karena Aris juga sudah menemukan gadis yang dia sukai.
Aris tiba-tiba bertanya, “Tiga detik yang kau katakan padaku... Kau sudah menemukan gadis takdirmu kan? Itulah alasan kau mengarang lagu kan?”
Wira hanya tersenyum kecil. Aris merasa senang untuk Wira dan berkata bahwa mereka benar-benar teman karena Aris juga sudah menemukan gadis yang dia sukai.
Aris
mengarang cerita flashback bahwa dia bertemu dengan Ghisel di halte bis. Ghisel
memberitahu Aris bahwa tangan Aris berdarah dan menawarkan bantuan merawat
lukanya.
“Dia orang yang merawat lukaku selain ibuku. Aku rasa dia seperti ibuku,” kata Aris.
“Dia orang yang merawat lukaku selain ibuku. Aku rasa dia seperti ibuku,” kata Aris.
Aris
mengambil tiket film Love Story yang sedang dikeringkan Wira.
“Kau akan pergi dengan gadis yang kau sukai? Wah, aku iri. Aku baru saja ditolak. Tapi aku berjanji bahwa bila lain kali kami bertemu dengan tidak sengaja, kami akan menonton film itu bersama. Sepertinya aku harus mencari cara agar bertemu dengannya.”
Wira mendengarkan cerita Aris dengan seksama. “Aneh. Film yang sama?” katanya pada Aris.
“’Cinta tidak mengenal maaf’? aneh,kenapa para wanita sangat menyukai kalimat itu?” tanya Aris
Wira teringat bahwa Ghisel juga suka kalimat itu. “Aku tidak tahu. Mungkin karena cinta datang dari hatimu dan cinta itu tulus. Kau tahu isi hati satu sama lain meskipun aku tidak mengatakannya.”
“Ah, aku paham. Seandainya aku wanita, aku pasti menyukaimu,” kata Aris bercanda.
“Kalau aku seorang wanita, aku tidak akan pernah menyukaimu,” kata Wira menggoda Aris.
“Kau akan pergi dengan gadis yang kau sukai? Wah, aku iri. Aku baru saja ditolak. Tapi aku berjanji bahwa bila lain kali kami bertemu dengan tidak sengaja, kami akan menonton film itu bersama. Sepertinya aku harus mencari cara agar bertemu dengannya.”
Wira mendengarkan cerita Aris dengan seksama. “Aneh. Film yang sama?” katanya pada Aris.
“’Cinta tidak mengenal maaf’? aneh,kenapa para wanita sangat menyukai kalimat itu?” tanya Aris
Wira teringat bahwa Ghisel juga suka kalimat itu. “Aku tidak tahu. Mungkin karena cinta datang dari hatimu dan cinta itu tulus. Kau tahu isi hati satu sama lain meskipun aku tidak mengatakannya.”
“Ah, aku paham. Seandainya aku wanita, aku pasti menyukaimu,” kata Aris bercanda.
“Kalau aku seorang wanita, aku tidak akan pernah menyukaimu,” kata Wira menggoda Aris.
Wira datang ke perpustakaan dan mengingat isi diari Ghisel yang tentang hal-hal yang dia sukai, yaitu: pojokan puisi di lantai 4 perpustakaan, bunga Baby’s Breath, The Little Prince karangan Saint Exupetry, dan Franz Schubert.
CREATED BY : M. Wira Aditya M.
Tag :
Cinta
CAKRANINGRAT IV
Bagian I: Cakraningrat IV Menangkan Sayembara Raja
Tersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah
Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai.
Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun
yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan
penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu
mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di
merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja
hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau sayembara.
Sang
raja kemudian mengeluarkan sabda “barang siapa yang bisa menyembuhkan
penyakit anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat
raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan
putri raja”. Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh
jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang syeh (guru
sepiritual ) dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid
kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura.
Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara
tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat
ke Bali diiringi oleh empat puluh orang pengikutnya.
Singkat
ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara
ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara
penyembuhan penyakit Raden Ayu. Putra-putra raja tersebut ada dari tanah
jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan
tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu
kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden
Ayu. Segala kesaktian dalam pengobatan sudah dikerahkan seperti ilmu
penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu
guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah dikeluarkan oleh
para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah
penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul
sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita
putrinya. Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang
pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat.
Setelah Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan
mohon diijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira
menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat IV dan mengijinkan mengikuti
sayembara. Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu ditempatkan di sebuah
balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan.
Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal
mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian
berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh Raden Ayu.
Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara total oleh Pangeran
Cakraningrat.
Kalau jodoh tak akan kemana, begitu pula yang
terjadi antara Cakraningrat IV dengan Gusti Ayu Made Rai. Ternyata
mereka saling mengagumi dan jatuh cinta saat pertama kali berjumpa.
Cinta lokasi di Istan Puri Pamecutan pun terjadi saat proses penyembuhan
dilakukan. Atas kesembuhan putrinya, Raja Badung memenuhi janjinya
menikahkan kepada pemuda yang sanggup menyembuhkan putri Raja dari
penyakit yang diderita. Persiapan pernikahan kedua insan berdarah
ningrat inipun digelar meriah di lingkungan Puri Pamecutan.
Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan
Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun
kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi
Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah.
Bagian II: Misteri Terbunuhnya Sang Putri Raja
Beberapa hari setelah Gusti Ayu Made Rai pulih, Raja mengundang
Cakraningrat IV berbincang serius dengan raja. Ternyata, Raja sudah
merencanakan pernikahan mereka. Meskipun Cakraningrat IV adalah seorang
muslim, Raja tidak mempermasalahkannya dan tetap memenuhi janji nya.
Setelah resmi menikah, Cakraningrat beserta istrinya Gusti Made Ayu Rai
yang telah berganti nama menjadi Raden Ayu Siti
Khotijah atau Raden
Ayu Pamecutan untuk kembali ke Bangkalan untuk dipertemukan dengan
keluarga besar Cakraningrat IV di kerajaan Madura Barat. Tentunya
kehadiran Siti Khotijah di lingkungan keluarga besar Cakraningrat IV
disambut baik. Apalagi sosok Siti Khotijah yang seorang putri Raja
Badung memang sangat santun, taat beribadah dan tentunya memiliki
kecantikan yang luar biasa.
Sedangkan Cakraningrat IV,
kedudukannya sebagai seorang Raja Bangkalan, titak memungkinkannya untuk
meninggalkan takhta kerajaan serta tugas-tugasnya sebagai penguasa.
Di saat bersamaan dan setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu
merindukan kampung halamannya di Pemecutan dan meminta izin kepada
suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali. Cakraningrat IV mengizinkan
Raden Ayu untuk pulang ke Balibeserta 40 orang pegiring dan pengawal.
Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka
berbentuk tusuk konde yang diselipkan di rambut sang putri.
Sesampainya di kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah disambut dengan riang
gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri
telah memeluk agama Isalam )menjadi seorang muallaf). Raden Ayu
Pamecutan di tempatkan di Taman Istana Monang -Maning Denpasar dengan
para dayang-dayang.
Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia
atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan
Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci
keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat
kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri,
Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan
persembahyangan (ibadah sholat maghrib) di Merajan Puri dengan
menggunakan Mukena (Krudung). Ketika itu salah seorang Patih di Puri
melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari
bahwa Puri telah memeluk islam dan sedang melakukan ibadah sholat.
Menurut kepercayaan di Bali, bila seseorang mengenakan pakaian atau
jubah serba putih, itu adalah pertanda sedang melepas atau melakukan
ritual ilmua hitam (Leak). Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan
sebagai penganut aliran ilmu hitam.
Akibat ketidaktahuan
pengawal istana, 'keanehan' yang disaksikan di halaman istana membuat
pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporakan hal tersebut
kepada Raja. Mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi
murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti
Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan areal pemakaman yang
luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata
kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya
mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah.
Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang
menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.”
Demikian kata Siti Khotijah.
Raden Ayu berpesan kepada Sang
patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena
senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk
konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga
warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu), tusukkan ke dadaku. Apabila
aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap
tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan
bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”.
Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar
asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat
mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan
pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi
sangat menyesal dengan keputusan belia . Jenasah Raden Ayu dimakamkan di
tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai
dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat
tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala
urusan istana di Puri Pemecutan.
Versi lain mengatakan Jika
kematian putri raja adalah akibat tebasan pedang milik patih kerajaan
saat melihat Siti Kahotijah sedang melaksanakan sholat. Peristiwa
pembunuhan terjadi akibat kesalahpahaman di antara patih dan pengawal
tentang maraknya ajaran 'pengleakan' yang bertujuan untuk memiliki ilmu
hitam yang akan ditujukan kepada lawannya.
Bagian III: Misteri Pohon 'Taru Rambut' di tengah makam
Setelah sang putri meninggal, maka sesuai wasiat sang putri menjelang
kematiannya, yaitu agar apabila tubuhnya mengeluarkan asap yang berbau
harum, agar dibuatkan tempat suci (keramat) untuk memakamkannya, maka
dibuatkan tempat suci yang disebut kramat bagi sang putri. Untuk merawat
makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu
menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Pada suatu
hari, dari makam Raden Ayu tumbuh sebuah pohon yang tingginya siktar 50
cm tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat
kuburan engkag atau berbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan
Moning, istri dari sedahan Gelogor. Ajaibnya, setiapkali dibersihkan
(dicabut) pohon itu kembali tumbuh dan terus membesar. Melihat
keganjilan itu, akhirnya penjaga makan Gede Sedahan Gelogor dan istrinya
membiarkan pohon itu tumbuh. Menurut penjaga makam yang sekaligus
Kepala Istana Kerajaan, saat ia dan istrinya Sedahan Moning sedang
besemadi di hadapan makam tersebut, ia diperintahkan atas wasiat Siti
Khotijah agar merawat pohon itu sebagai bukti bahwa Siti Khotijah atau
Raden Ayun Pamecutan atau Gusti Ayu Made Rai bukanlah orang sembarangan.
Pohon tersebut konon tumbuh dari rambut Raden Ayu yang semasa hidupnya
memiliki rambut hitam panjang. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh
tepat di atas makam tersebut dan disebut 'Taru rambut'. Kini pohon Kepuk
itu tumbuh besar dan telah mencapai tinggi 16 meter dan sangat
disakralkan oleh warga. Penerus juru kunci, Jero Mangku I Made puger
mengakui sering terjadi hal-hal di luar akal sehat selama menjaga makam
Keramat Agung Pamecutan. Contoh yang sering terjadi ialah ranting dan
dahan pohon sering berjatuhan namun tak pernah menyentuh atap makam.
"...ranting atau dahan phon itu hanya berjatuhan di sebelah makam.
Seperti ada yang melempar ke sebelah makam...", tutur Jero Mangku.
Konon versi lain terkait kepuk yang tumbuh besar tepat di tengah makam
Siti Khotijah merupakan jelmaan sisir atau pendok atau tusuk konde yang
dikenakan Siti Khotijah. Pendok itu, atas karomah yang diberikan Allah
SWT, berubah wujud menjadi pohon keramat. Keberadaan pohon itu
membuktikan bahwa Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan memiliki
karomah melebihi manusia biasa.
Adapun sebagai bentuk
pertanggung jawaban Raja kepada 40 orang pengiring Raden Ayu, Raja
memberikan tempat bermukim di daerah Kepaon. Kini kampung Islam Kepaon
berkembang pesat dan pewaris Raja Pamecutan selalu hadir pada perayaan
hari besar islam. Kehadiran keluarga besar Puri Pamecutan sebagai bukti
bahwa antara saudara islam kampung Islam Kepaon dengan Puri Pamecutan
terjalin ikatan dari pernikahan putri raja badung Gusti Ayu Made Rai
(Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan) dengan Raja Madura,
Cakraningrat IV. Bahkan penguasa Puri Pamecutan, Raja Cokorda Pamecutan
IX, SH mengakui bahwa kampung Islam Kepaon merupakan saudara berdasarkan
perkawinan keturunan Raja Pemecutan dengan Raja madura, Cakraningrat
IV.
Mengenai aci atau upacara yang dipersembahkan di makam
kramat tersebut, bahwa odalannya (pujawali) jatuh pada Redite (Minggu)
Wuku Pujut, sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan).
Persembahan (sesaji) yang dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni
tumpeng putih kuning, jajan, buah-buahan, lauk pauk, tanpa daging babi.
Saat ini, Makam Keramat Agung Pamecutan telah mengalami renovasi serta
diperluas menjadi 400 m2. Sampai kini, kunjungan peziarah dari berbagai
daerah di Jawa, khususnya Madura sangat ramai. Demikian pula dengan
warga Hindu banyak yang datang kesana.
White Chocolate Bar FF (Sehun, Yoona dan Krystal)
Aku punya mimpi waktu itu. Mimpi itu menyedihkan sekali. Aku berusaha menceritakannya dalam bentuk tulisan dan banyak yang aku tambahkan agar lebih menarik. Di mimpi itu aku cowoknya, dan kedua ceweknya adaa lah..
Aku ubah ke fanfiction korea karyaku sendiri dengan pemain sbb:Oh sehun Im Yoon Ah Krystal Jung
WHITE CHOCOLATE BAR
Di sebuah kota bermusim gugur, dan tidak terlalu ramai dengan kendaraan namun ramai dengan orang2 yang berjalan dan lebih menikmati dunia.
Saat itu Krystal berkata pada Sehun kalau dia tidak bisa berhubungan lagi dengan Sehun.
Krystal meminta Sehun untuk melupakannya karena Krystal akan dinikahkan oleh orang pilihan ayahnya.
"Maafkan aku, aku harus mengikuti keinginan ayahku. Dia saat ini sedang sakit. Tolong lupakan aku". pinta Krystal
"Dengar, Aku mencintaimu. Jadi tolong jangan memintaku untuk melupakanmu atau aku benar-benar akan melupakanmu selamanya". Ucap Sehun dengan nada memohon.
"Itulah yang aku inginkan.. Oppa..". Ucap Krystal. Krystal pergi sambil menangis
Sehun sangat sedih saat kenangan bersama Krystal tidak bisa ia lupakan dengan mudah karena mereka sudah berhubungan selama 2 tahun.
Sehun selalu duduk dibangku taman biasa dia duduk dengan Krystal pada sore hari. Dia selalu termenung dan sesekali menitikkan air mata. Dia selalu berharap Krystal akan datang padanya. Hal itu terjadi selama 2 minggu dan terus menerus.
Suatu hari saat dia duduk di bangku itu, ada seorang gadis cantik duduk disebelahnya. Gadis berumur 3 tahun diatas Sehun. Gadis itu duduk agak jauh. Sehun tetap termenung dan tidak memperhatikan sekelilingnya.
Saat Sehun menitikkan airmata, gadis itu melihat ke arah Sehun. Gadis itu merasa orang itu harus dihibur.
Gadis itu menjulurkan tangannya dan memberikan sebatang coklat putih pada Sehun.
Sehun melihat gadis itu dan segera mengusap airmatanya.
Sehun berkata:"Aku bukan anak kecil lagi"
Lalu gadis itu bertanya: "Kalau bukan anak kecil, lalu kenapa laki-laki sepertimu menangis seperti ini? Apa kau sedang patah hati?"
Sehun terdiam dan memperhatikan gadis itu.
Gadis itu berkata lagi: "Sudah makan saja coklat ini, coklat bisa menyembuhkan luka sesakit apapun walau hanya sementara".
Sehun mengambil coklat itu dan memakannya. Gadis itu lalu bertanya.
"Siapa namamu?"
"Untuk apa bertanya nama? lebih baik tidak tahu satu sama lain" jawab Sehun
"Aku sering melihatmu disini, duduk termenung dan tanpa melakukan apapun. Dan mungkin aku akan selalu memberimu coklat putih ini. Bukannya akan jadi aneh jika aku tidak tahu namamu." Ucap Gadis itu
"Aish.. Namaku Sehun"
"Ohh Sehun.. baiklah Sehun"
"Kau siapa?" Tanya Sehun
"Aku Yoona"
Mereka berdua berbicara sampai mereka benar-benar akrab. Mereka sering bertemu di bangku itu.Kini Sehun tidak sesedih saat dia belum bertemu Yoona.
Dua mimggu setelah mereka saling dekat. Suatu malam mereka jalan-jalan di trotoar kota yang ramai dengan orang-orang. Mereka bercanda layaknya seorang pasangan.
Dan tiba saatnya Sehun berpisah dengan Yoona malam itu. Yoona harus pergi membeli sesuatu dan pulang.
"Aku harus pulang"
"Baiklah, terimakasih untuk malam ini"
"Aku ingin melihatmu pergi terlebih dulu" pinta Yoona
"Baiklah" . Sehun mengiyakan.
Sehun berjalan pergi sambil lalu melambaikan tangan pada Yoona.
Setelah cukup jauh dari Yoona, Sehun tidak sengaja lewat dibelakang seorang gadis yang ingin menyeberang jalan. Sehun berhenti lalu melihat gadis itu dari belakang. Sehun berhenti karena mendengar gadis itu berkata pelan "Aku menyesal meninggalkanmu Sehun" dengan nada menyesal.
Tiba-tiba gadis itu menyeberang tanpa melihat keadaan disekitarnya. Sontak Sehun menarik badannya karena nyaris ada mobil akan menabraknya.
Sehun berteriak: "Apa kau gilaa?!".
Tapi tiba-tiba Sehun berhenti berteriak karena melihat gadis yang ditariknya itu adalah Krystal. Mereka saling bertatapan. Sehun segera melepaskan tangannya dari badan Krystal dan berbalik pergi.
Saat berjalan 2 langkah, Krystal berteriak: "Aku tidak jadi menikah".
Sehun kemudian berhenti sejenak namun melanjutkan jalannya kembali.
"Bagaimana keadaanmu Sehunie oppa? Aku pikir kau akan pergi jauh. Tolong berhenti dan maafkan aku oppa" Teriak Krystal
Sehun terus saja berjalan. Krystal menitikkan air mata saat itu juga sambil berpangku pada tiang.
Dari kejauhan seberang jalan, ternyata Yoona melihat kejadian itu. Yoona tahu kalau gadis itu adalah mantan kekasih Sehun dulu. Karena Sehun sempat bercerita tentang Krystal.
Saat melihat Krystal menangis, Yoona tiba-tiba merasa pusing.
Keesokan harinya, Sehun duduk dibangku taman. Tiba-tiba dari kejauhan Sehun melihat Krystal keluar dari mobilnya dan berjalan kearah Sehun.
Namun Saat itu juga Yoona terlebih dulu datang dihadapan Sehun. Sehun tiba-tiba memeluk Yoona dihadapan Krystal.
"Aku menyukaimu, aku menyukaimu saat pertama kali kau menyebutkan namamu noona". kata Sehun kepada Yoona sambil melihat ke arah Krystal.
Yoona melepaskan pelukannya karena merasa kaget tiba-tiba Sehun mengatakan hal itu. Yoona melihat mata Sehun melihat seseorang. Yoona menoleh kebelakang dan dia melihat Krystal sedang memperhatikan dia dan Sehun. Yoona dan Krystal saat itu merasa canggung.
"Karena ada dia?". tanya Yoona.
Yoona lalu mencoba pergi dari Sehun. Karena Krystal masih melihat Sehun, Sehun menahan tangan Yoona lalu berkata "Aku benar-benar mencintaimu". dan langsung mencium Yoona.
Krystal yang melihat kejadian itu berusaha memalingkan wajahnya dan Krystal menitikkan air mata. Krystal kembali ke mobil dengan perasaan sedih.
Sehun melepaskan ciumannya, lalu Yoona menatap aneh Sehun. Yoona tiba-tiba pusing berat lalu pingsan dihadapan Sehun. Sehun saat itu panik dan berusaha menyadarkan Yoona. Sehun menggendong Yoona lalu pergi kearah mobil Krystal.
Sehun meminta tolong untuk yang terakhir kalinya pada Krystal agar mengantarkan Yoona ke rumah sakit.
Saat dirumah sakit, Sehun duduk diluar kamar Yoona diperiksa. Krystal mencoba berbicara pada Sehun namun Sehun tidak memperhatikannya.
"Oppa". panggil Krystal
"berhenti memangilku oppa" jawab sehun
"Tapi.."
Tiba-tiba dokter keluar dan Sehun menanyakan keadaan Yoona.
Sehun berjalan keluar rumah sakit dan duduk di bangku taman rumah sakit. Disana Sehun menangis. Dia mengingat apa yang dikatakan dokter tadi. Yoona sudah lama mempunyai penyakit yang serius dan sangat sulit disembuhkan. Dan penanganannya sudah terlambat. Dokter rasa tidak lama lagi dia akan meninggal.
Sehun merasa orang-orang yang dicintainya selalu berusaha pergi darinya.
Tiba-tiba Sehun mendapat kabar dari Krystal bahwa Yoona sudah sadar. Sehun berlari menuju ruangan Yoona.
"Kau ini kenapa?" tanya Sehun cemas
"Aku baik-baik saja" jawab Yoona sambil tersenyum
"Kenapa kau tidak mau berobat saat kau tau penyakit itu akan membunuhmu!". Teriak Sehun sambil menitikkan air mata.
"Maafkan aku, aku terlalu takut pergi ke rumah sakit dan mengetahui apa yang aku derita" jawab Yoona sambil menangis.
"Kenapa tuhan selalu menjauhkan orang yang aku cintai dari hidupku". Tangis Sehun sambil memuku dinding.
"Kembalilah kepada kekasihmu yang dulu, aku rasa dia yang akan membuatmu bahagia. Ini bukan permohonan, ini permintaanku yang terakhir."pinta Yoona sambil menangis.
Sehun tidak menyangka Yoona berkata seperti itu. Sehun terus saja menitikkan air matanya.
"Aku juga mohon padamu, jangan berada dihadapanku saat aku akan meninggal.'' pinta Yoona
"Memangnya kenapa?". tanya Sehun heran
"aku hanya ingin melihat kedua orangtuaku, karena mereka akan datang kesini. Dan juga.. aku tidak ingin melihatmu menangis saat terakhir kali aku melihat dunia. Aku mencintaimu Sehun.."
Sehun berjalan keluar dari rumah sakit. Dibawah hujan deras dia berdiri didepan rumah sakit. Dia terdiam disana dan menangis.
Tidak lama Krystal berjalan kearahnya dan membawa payung untuk meneduhkan Sehun.
"Tolong jangan acuhkan aku kali ini, dan tolong jangan menangis seperti ini". Ucap Krystal
"Aku suka menangis disaat hujan, karena aku pikir tidak akan ada orang yang bisa melihatnya". Ucap Sehun
"Sehun, maafkan aku. Aku harap kau tau aku masih mencintaimu"
Sehun terdiam.
"Pegang payung ini, maka aku akan tau kalau kau akan memaafkanku" ucap Krystal lagi.
Krystal memberikan payung itu, Sehun memegangnya namun setelah itu menjatuhkannya. Krystal melihat payung yang jatuh itu lalu berjalan pergi dari hadapan Sehun tanpa membawa payung dan dengan wajah yang sedih.
Sehun teringat permintaan terakhir Yoona, Sehun mengambil payung itu lalu mengejar Krystal. Sehun memegang tangan Krystal dan berjalan dibawah payung bersama. Krystal saat itu terseyum dan merasa bahagia.
Sehun mendapat kabar dari rumah sakit bahwa Yoona telah meninggal dunia. Saat itu Sehun benar-benar merasa kacau, Sehun mabuk sampai bertengkar dengan orang-orang yang tidak sengaja ia tabrak dijalan.
Krystal datang ke kantor polisi dan membebaskan Sehun. Krystal merawat luka memar di wajah Sehun. Krystal menangis melihat Sehun menjadi seperti itu.
Tak lama kemudian akhirnya mereka menikah dan mempunyai seorang bayi perempuan. Mereka memberi nama bayi itu Yoona.
Suatu hari mereka mengajak bayi itu berjalan-jalan di keramaian kota.
Bruk! Sehun menabrak seorang gadis, makanan yang dibawa gadis itu terjatuh. Gadis yang melihat Sehun, Krystal dan bayi itu langsung meneruskan jalannya tanpa mengambil makanannya yang terjatuh. Sementara Sehun tidak melihat ke arah gadis itu karena Sehun fokus melihat makanan yang terjatuh tadi. Sedangkan Krystal hanya fokus pada bayinya.
Sehun tiba-tiba diam begitu tahu sebatang coklat putih yang akan ia ambil. Sehun melihat ke arah gadis yang langsung pergi itu.
Terbersit dalam pikiran Sehun bahwa itu adalah Yoona. Sehun berusaha mengejarnya. Namun Krystal memanggil Sehun karena bayinya menangis.
Sehun tidak berfikir untuk mencarinya lagi , karena yang dia tahu Yoona sudah meninggal.
**Saat itu, setelah Sehun meninggalkan ruangan Yoona, Dokter datang dan memberitahu bahwa kesempatan hidup Yoona adalah 90% jika di operasi. Yoona bahagia sekali saat itu. Dia berusaha memberitahu Sehun. Namun didepan rumah sakit Yoona melihat Sehun berjalan sat payung dengan Krystal. Yoona mengurungkan niatnya untuk memberitahu Sehun. Yoona menangis dan menyesal saat itu. Yoona belumm bisa melupakan cinta pertamanya itu dan orang yang memberikannya ciuman pertama. Yoona memalsukan informasi bahwa dia telah meninggal untuk meyakini Sehun bahwa ia sudah meninggal.
Dari kejauhan, lagi-lagi Yoona melihat Sehun dan Krystal bahagia sekali. Yoona menangis melihat Sehun. Yoona benar-benar merasa tidak bisa mengganggu keidupan mereka.
CREATED BY : M. Wira Aditya M.
Tag :
Cinta
Asal Usul lagu Nina Bobo
"Nina bobo, oh.. nina bobo..
Kalau tidak bobo di gigit nyamuk..."
Pasti pembaca tahu dong dengan sepenggal lirik lagu di atas? Ya.. Itu adalah lagu yang berjudul Nina Bobo dan lagu tersebut biasa nya di nyanyikan disaat kita mau tidur ketika kita masih kecil (anak-anak).
Kalau tidak bobo di gigit nyamuk..."
Pasti pembaca tahu dong dengan sepenggal lirik lagu di atas? Ya.. Itu adalah lagu yang berjudul Nina Bobo dan lagu tersebut biasa nya di nyanyikan disaat kita mau tidur ketika kita masih kecil (anak-anak).
Lagu
tersebut sudah ada sejak nenek moyang kita. Tapi tahu kah anda di balik
lagu yang cukup sederhana itu ada kisah tragis di balik ceritanya?
Kelihatan memang gak ada yang ganjil dari lagu tersebut, tapi pernahkah
anda coba bertanya pada seseorang tentang siapakah gadis bernama Nina
dari lagu tersebut?
Beberapa dekade setelah kedatangan Cornelis de Houtmen di Banten, warga negara Belanda dari berbagai kalangan sudah memenuhi pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Alkisah seorang gadis belia asal Belanda bernama Nina Van Mijk, gadis yang berasal dari keluarga komposer musik klasik sederhana yang menetap di Nusantara untuk memulai hidup baru karena terlalu banyak saingan musisi di Belanda.
Hidup Nina berjalan normal seperti orang-orang Belanda di Nusantara pada umumnya, berjalan-jalan, bersosialisasi dengan penduduk pribumi, dan mengenal budaya Nusantara. Kedengaran indah memang, tapi semenjak kejadian aneh itu keadaan menjadi berbanding terbalik.
Kejadian aneh itu terjadi pada suatu malam badai, petir gak henti-hentinya saling bersahutan. Dari dalam kamarnya Nina menjerit keras sekali, di ikuti suara vas bunga yang terjatuh dan pecah.
Ayah, Ibu serta pembantu keluarga Nina menghambur ke kamar Nina. Pintu terkunci dari dalam, akhirnya pintu itu didobrak oleh ayah Nina. Dan satu pemandangan mengerikan disaksikan oleh keluarga itu, terlihat diranjang tidur Nina melipat tubuhnya kebelakang persis dalam posisi kayang merayap mundur sambil menjerit-jerit dan sesekali mengumpat-ngumpat dengan bahasa Belanda.
Rambutnya yang lurus pirang menjadi kusut gak keruan, kelopak matanya menghitam pekat. Itu bukan Nina, itu adalah jiwa orang lain didalam tubuh Nina. Nina Kerasukan!
Sudah seminggu berlalu semenjak malam itu, Nina dipasung didalam kamarnya. Tangannya diikat dengan seutas tambang. Keadaan Nina makin memburuk, tubuhnya semakin kurus dan pucat, rambut pirang lurusnya sudah kusut gak karuan. Ibu Nina hanya bisa menangis setiap malam ketika mendengar Nina menjerit-jerit.
Ayah Nina gak tahu harus berbuat apa lagi, karena kejadian aneh seperti ini gak pernah diduganya. Karena putus asa dan gak tahan melihat keadaan anaknya, ayah Nina pulang ke Belanda sendirian meninggalkan anak dan istrinya di Nusantara. Pembantu rumahnya pun pergi meninggalkan rumah itu karena takut.
Tinggallah Nina yang dipasung dan Ibunya disatu rumah yang gak terurus. Kembali lagi pada satu malam badai namun aneh saat itu terdengar Nina gak lagi menjerit-jerit seperti biasanya.
Kamarnya begitu hening, perasaan ibu Nina bercampur aduk antara bahagia dengan takut. Bahagia bila ternyata anaknya sudah sembuh, tetapi takut bila ternyata anaknya sudah meninggal.
Ibu Nina mengintip dari sela-sela pintu kamar Nina, dan ternyata Nina sedang duduk tenang diatas ranjangnya. Gak berkata apa-apa tapi sejurus kemudian dia menangis sesengukan. Ibu Nina langsung masuk kedalam kamarnya dan memeluk Nina erat-erat.
Sambil menangis nina berkata:
“Ibu, aku takut..”
Lalu Ibunya menjawab sambil menangis pula.
“Gak apa nak, Ibu ada disini. Kamu gak perlu menangis lagi, ayo kita makan. Ibu tahu kamu pasti lapar..”
“Aku gak lapar, tetapi bolehkah aku meminta sesuatu?”
“Apapun nak..! apapun..!!”
“Aku ngantuk, rasanya aku akan tertidur sangat pulas. Mau kah ibu nyanyikan sebuah lagu pengantar tidur untukku?”
Ibu Nina terdiam, agak sedikit gak percaya dari apa yang didengar oleh anaknya. Tapi kemudian ibu Nina berkata sambil mencoba tersenyum.
“Baiklah, ibu akan menyanyikan sebait lagu untukmu..”
Saya yakin anda sudah tahu lagu apa yang dinyanyikan oleh Ibu Nina. Setelah sebait lagu itu Nina terlelap damai dengan kepala dipangkuan ibunya, wajah anggunnya telah kembali. Ibu Nina menghela nafas lega, anaknya telah tertidur pulas. Tapi..
Nina gak bergerak sedikit pun, nafasnya gak terdengar, denyut nadinya menghilang, aliran darahnya berhenti. Nina telah tertidur benar-benar lelap untuk selamanya dengan sebuah lagu ciptaan ibunya sebagai pengantar kepergian dirinya setelah berjuang melawan penderitaan.
Beberapa dekade setelah kedatangan Cornelis de Houtmen di Banten, warga negara Belanda dari berbagai kalangan sudah memenuhi pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Alkisah seorang gadis belia asal Belanda bernama Nina Van Mijk, gadis yang berasal dari keluarga komposer musik klasik sederhana yang menetap di Nusantara untuk memulai hidup baru karena terlalu banyak saingan musisi di Belanda.
Hidup Nina berjalan normal seperti orang-orang Belanda di Nusantara pada umumnya, berjalan-jalan, bersosialisasi dengan penduduk pribumi, dan mengenal budaya Nusantara. Kedengaran indah memang, tapi semenjak kejadian aneh itu keadaan menjadi berbanding terbalik.
Kejadian aneh itu terjadi pada suatu malam badai, petir gak henti-hentinya saling bersahutan. Dari dalam kamarnya Nina menjerit keras sekali, di ikuti suara vas bunga yang terjatuh dan pecah.
Ayah, Ibu serta pembantu keluarga Nina menghambur ke kamar Nina. Pintu terkunci dari dalam, akhirnya pintu itu didobrak oleh ayah Nina. Dan satu pemandangan mengerikan disaksikan oleh keluarga itu, terlihat diranjang tidur Nina melipat tubuhnya kebelakang persis dalam posisi kayang merayap mundur sambil menjerit-jerit dan sesekali mengumpat-ngumpat dengan bahasa Belanda.
Rambutnya yang lurus pirang menjadi kusut gak keruan, kelopak matanya menghitam pekat. Itu bukan Nina, itu adalah jiwa orang lain didalam tubuh Nina. Nina Kerasukan!
Sudah seminggu berlalu semenjak malam itu, Nina dipasung didalam kamarnya. Tangannya diikat dengan seutas tambang. Keadaan Nina makin memburuk, tubuhnya semakin kurus dan pucat, rambut pirang lurusnya sudah kusut gak karuan. Ibu Nina hanya bisa menangis setiap malam ketika mendengar Nina menjerit-jerit.
Ayah Nina gak tahu harus berbuat apa lagi, karena kejadian aneh seperti ini gak pernah diduganya. Karena putus asa dan gak tahan melihat keadaan anaknya, ayah Nina pulang ke Belanda sendirian meninggalkan anak dan istrinya di Nusantara. Pembantu rumahnya pun pergi meninggalkan rumah itu karena takut.
Tinggallah Nina yang dipasung dan Ibunya disatu rumah yang gak terurus. Kembali lagi pada satu malam badai namun aneh saat itu terdengar Nina gak lagi menjerit-jerit seperti biasanya.
Kamarnya begitu hening, perasaan ibu Nina bercampur aduk antara bahagia dengan takut. Bahagia bila ternyata anaknya sudah sembuh, tetapi takut bila ternyata anaknya sudah meninggal.
Ibu Nina mengintip dari sela-sela pintu kamar Nina, dan ternyata Nina sedang duduk tenang diatas ranjangnya. Gak berkata apa-apa tapi sejurus kemudian dia menangis sesengukan. Ibu Nina langsung masuk kedalam kamarnya dan memeluk Nina erat-erat.
Sambil menangis nina berkata:
“Ibu, aku takut..”
Lalu Ibunya menjawab sambil menangis pula.
“Gak apa nak, Ibu ada disini. Kamu gak perlu menangis lagi, ayo kita makan. Ibu tahu kamu pasti lapar..”
“Aku gak lapar, tetapi bolehkah aku meminta sesuatu?”
“Apapun nak..! apapun..!!”
“Aku ngantuk, rasanya aku akan tertidur sangat pulas. Mau kah ibu nyanyikan sebuah lagu pengantar tidur untukku?”
Ibu Nina terdiam, agak sedikit gak percaya dari apa yang didengar oleh anaknya. Tapi kemudian ibu Nina berkata sambil mencoba tersenyum.
“Baiklah, ibu akan menyanyikan sebait lagu untukmu..”
Saya yakin anda sudah tahu lagu apa yang dinyanyikan oleh Ibu Nina. Setelah sebait lagu itu Nina terlelap damai dengan kepala dipangkuan ibunya, wajah anggunnya telah kembali. Ibu Nina menghela nafas lega, anaknya telah tertidur pulas. Tapi..
Nina gak bergerak sedikit pun, nafasnya gak terdengar, denyut nadinya menghilang, aliran darahnya berhenti. Nina telah tertidur benar-benar lelap untuk selamanya dengan sebuah lagu ciptaan ibunya sebagai pengantar kepergian dirinya setelah berjuang melawan penderitaan.
Tag :
Pengetahuan