Bagian I: Cakraningrat IV Menangkan Sayembara Raja
Tersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah
Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai.
Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun
yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan
penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu
mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di
merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja
hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau sayembara.
Sang
raja kemudian mengeluarkan sabda “barang siapa yang bisa menyembuhkan
penyakit anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat
raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan
putri raja”. Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh
jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang syeh (guru
sepiritual ) dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid
kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura.
Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara
tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat
ke Bali diiringi oleh empat puluh orang pengikutnya.
Singkat
ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara
ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara
penyembuhan penyakit Raden Ayu. Putra-putra raja tersebut ada dari tanah
jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan
tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu
kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden
Ayu. Segala kesaktian dalam pengobatan sudah dikerahkan seperti ilmu
penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu
guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah dikeluarkan oleh
para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah
penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul
sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita
putrinya. Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang
pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat.
Setelah Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan
mohon diijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira
menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat IV dan mengijinkan mengikuti
sayembara. Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu ditempatkan di sebuah
balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan.
Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal
mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian
berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh Raden Ayu.
Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara total oleh Pangeran
Cakraningrat.
Kalau jodoh tak akan kemana, begitu pula yang
terjadi antara Cakraningrat IV dengan Gusti Ayu Made Rai. Ternyata
mereka saling mengagumi dan jatuh cinta saat pertama kali berjumpa.
Cinta lokasi di Istan Puri Pamecutan pun terjadi saat proses penyembuhan
dilakukan. Atas kesembuhan putrinya, Raja Badung memenuhi janjinya
menikahkan kepada pemuda yang sanggup menyembuhkan putri Raja dari
penyakit yang diderita. Persiapan pernikahan kedua insan berdarah
ningrat inipun digelar meriah di lingkungan Puri Pamecutan.
Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan
Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun
kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi
Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah.
Bagian II: Misteri Terbunuhnya Sang Putri Raja
Beberapa hari setelah Gusti Ayu Made Rai pulih, Raja mengundang
Cakraningrat IV berbincang serius dengan raja. Ternyata, Raja sudah
merencanakan pernikahan mereka. Meskipun Cakraningrat IV adalah seorang
muslim, Raja tidak mempermasalahkannya dan tetap memenuhi janji nya.
Setelah resmi menikah, Cakraningrat beserta istrinya Gusti Made Ayu Rai
yang telah berganti nama menjadi Raden Ayu Siti Khotijah atau Raden
Ayu Pamecutan untuk kembali ke Bangkalan untuk dipertemukan dengan
keluarga besar Cakraningrat IV di kerajaan Madura Barat. Tentunya
kehadiran Siti Khotijah di lingkungan keluarga besar Cakraningrat IV
disambut baik. Apalagi sosok Siti Khotijah yang seorang putri Raja
Badung memang sangat santun, taat beribadah dan tentunya memiliki
kecantikan yang luar biasa.
Sedangkan Cakraningrat IV,
kedudukannya sebagai seorang Raja Bangkalan, titak memungkinkannya untuk
meninggalkan takhta kerajaan serta tugas-tugasnya sebagai penguasa.
Di saat bersamaan dan setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu
merindukan kampung halamannya di Pemecutan dan meminta izin kepada
suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali. Cakraningrat IV mengizinkan
Raden Ayu untuk pulang ke Balibeserta 40 orang pegiring dan pengawal.
Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka
berbentuk tusuk konde yang diselipkan di rambut sang putri.
Sesampainya di kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah disambut dengan riang
gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri
telah memeluk agama Isalam )menjadi seorang muallaf). Raden Ayu
Pamecutan di tempatkan di Taman Istana Monang -Maning Denpasar dengan
para dayang-dayang.
Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia
atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan
Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci
keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat
kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri,
Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan
persembahyangan (ibadah sholat maghrib) di Merajan Puri dengan
menggunakan Mukena (Krudung). Ketika itu salah seorang Patih di Puri
melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari
bahwa Puri telah memeluk islam dan sedang melakukan ibadah sholat.
Menurut kepercayaan di Bali, bila seseorang mengenakan pakaian atau
jubah serba putih, itu adalah pertanda sedang melepas atau melakukan
ritual ilmua hitam (Leak). Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan
sebagai penganut aliran ilmu hitam.
Akibat ketidaktahuan
pengawal istana, 'keanehan' yang disaksikan di halaman istana membuat
pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporakan hal tersebut
kepada Raja. Mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi
murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti
Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan areal pemakaman yang
luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata
kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya
mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah.
Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang
menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.”
Demikian kata Siti Khotijah.
Raden Ayu berpesan kepada Sang
patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena
senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk
konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga
warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu), tusukkan ke dadaku. Apabila
aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap
tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan
bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”.
Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar
asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat
mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan
pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi
sangat menyesal dengan keputusan belia . Jenasah Raden Ayu dimakamkan di
tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai
dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat
tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala
urusan istana di Puri Pemecutan.
Versi lain mengatakan Jika
kematian putri raja adalah akibat tebasan pedang milik patih kerajaan
saat melihat Siti Kahotijah sedang melaksanakan sholat. Peristiwa
pembunuhan terjadi akibat kesalahpahaman di antara patih dan pengawal
tentang maraknya ajaran 'pengleakan' yang bertujuan untuk memiliki ilmu
hitam yang akan ditujukan kepada lawannya.
Bagian III: Misteri Pohon 'Taru Rambut' di tengah makam
Setelah sang putri meninggal, maka sesuai wasiat sang putri menjelang
kematiannya, yaitu agar apabila tubuhnya mengeluarkan asap yang berbau
harum, agar dibuatkan tempat suci (keramat) untuk memakamkannya, maka
dibuatkan tempat suci yang disebut kramat bagi sang putri. Untuk merawat
makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu
menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Pada suatu
hari, dari makam Raden Ayu tumbuh sebuah pohon yang tingginya siktar 50
cm tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat
kuburan engkag atau berbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan
Moning, istri dari sedahan Gelogor. Ajaibnya, setiapkali dibersihkan
(dicabut) pohon itu kembali tumbuh dan terus membesar. Melihat
keganjilan itu, akhirnya penjaga makan Gede Sedahan Gelogor dan istrinya
membiarkan pohon itu tumbuh. Menurut penjaga makam yang sekaligus
Kepala Istana Kerajaan, saat ia dan istrinya Sedahan Moning sedang
besemadi di hadapan makam tersebut, ia diperintahkan atas wasiat Siti
Khotijah agar merawat pohon itu sebagai bukti bahwa Siti Khotijah atau
Raden Ayun Pamecutan atau Gusti Ayu Made Rai bukanlah orang sembarangan.
Pohon tersebut konon tumbuh dari rambut Raden Ayu yang semasa hidupnya
memiliki rambut hitam panjang. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh
tepat di atas makam tersebut dan disebut 'Taru rambut'. Kini pohon Kepuk
itu tumbuh besar dan telah mencapai tinggi 16 meter dan sangat
disakralkan oleh warga. Penerus juru kunci, Jero Mangku I Made puger
mengakui sering terjadi hal-hal di luar akal sehat selama menjaga makam
Keramat Agung Pamecutan. Contoh yang sering terjadi ialah ranting dan
dahan pohon sering berjatuhan namun tak pernah menyentuh atap makam.
"...ranting atau dahan phon itu hanya berjatuhan di sebelah makam.
Seperti ada yang melempar ke sebelah makam...", tutur Jero Mangku.
Konon versi lain terkait kepuk yang tumbuh besar tepat di tengah makam
Siti Khotijah merupakan jelmaan sisir atau pendok atau tusuk konde yang
dikenakan Siti Khotijah. Pendok itu, atas karomah yang diberikan Allah
SWT, berubah wujud menjadi pohon keramat. Keberadaan pohon itu
membuktikan bahwa Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan memiliki
karomah melebihi manusia biasa.
Adapun sebagai bentuk
pertanggung jawaban Raja kepada 40 orang pengiring Raden Ayu, Raja
memberikan tempat bermukim di daerah Kepaon. Kini kampung Islam Kepaon
berkembang pesat dan pewaris Raja Pamecutan selalu hadir pada perayaan
hari besar islam. Kehadiran keluarga besar Puri Pamecutan sebagai bukti
bahwa antara saudara islam kampung Islam Kepaon dengan Puri Pamecutan
terjalin ikatan dari pernikahan putri raja badung Gusti Ayu Made Rai
(Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan) dengan Raja Madura,
Cakraningrat IV. Bahkan penguasa Puri Pamecutan, Raja Cokorda Pamecutan
IX, SH mengakui bahwa kampung Islam Kepaon merupakan saudara berdasarkan
perkawinan keturunan Raja Pemecutan dengan Raja madura, Cakraningrat
IV.
Mengenai aci atau upacara yang dipersembahkan di makam
kramat tersebut, bahwa odalannya (pujawali) jatuh pada Redite (Minggu)
Wuku Pujut, sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan).
Persembahan (sesaji) yang dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni
tumpeng putih kuning, jajan, buah-buahan, lauk pauk, tanpa daging babi.
Saat ini, Makam Keramat Agung Pamecutan telah mengalami renovasi serta
diperluas menjadi 400 m2. Sampai kini, kunjungan peziarah dari berbagai
daerah di Jawa, khususnya Madura sangat ramai. Demikian pula dengan
warga Hindu banyak yang datang kesana.